Powered By Blogger

Sabtu, 25 Oktober 2008

Qick Count Pilwalkot : Inchumbent Menang!

Hasil QuickCount Tim Pemantau Independen BEM Se-Bogor menunjukkan perolehan suara masing-masing pasangan calon walikota dan wakil walikota 2009-2014 sebagai berikut:
1.Syafei-Akik 8,4%
2.Ki Gendeng -Chusairi 7,8%
3.Iis - Ahani 4,8%
4.Dody - Erik 18,9%
5.Diani - Ru'yat 60,8%

So sepertinya ga akan terjadi dua putaran pada Pilwalkot Bogor kali ini.


Penjelasan sampling:

Survey dilakukan oleh tim pengawas independen BEM Se-Bogor pada 30 Kelurahan dari total 68 kelurahan di Kota Bogor dengan metode Systematic sampling.

Senin, 20 Oktober 2008

Pilwalkot: Meretas Harapan Baru Kota Bogor

Pilwalkot: Meretas Harapan Baru Kota Bogor
Eka Febrial (Koordinator BEM Se-Bogor)
Geliat perpolitikan menjelang Pemilihan Walikota Bogor 25 Oktober nanti semakin ramai dan hangat. Jutaan bahkan miliaran rupiah sedia dikorbankan demi memuaskan hasrat aktualisasi demokrasi yang dulu terpasung puluhan tahun lamanya. Pilkada, bagi sebagian masyarakat, seakan menjadi mimpi baru untuk mewujudkan transformasi total, bahkan kalau perlu revolusioner. Akan tetapi, bagi sebagian yang lain, Pilkada tak lebih dari ajang obral-mengobral janji palsu para elit politik yang memanfaatkan keluguan masyarakat dengan iming-iming janji, atau (bila perlu) dengan sogokan katabelece lain. Bahkan, yang ekstrem pesimistis memandang Pilkada dengan sebelah mata; hanya pesta pora yang menghamburkan uang di tengah kemiskinan dan penderitaan rakyat semata.
Antara Pilgub dan Pilwalkot: Siapa berikutnya?
Fenomena Pilkada yang beberapa bulan silam berlangsung di Jawa Barat dapat menjadi objek studi yang relevan bagi respon masyarakat Jawa Barat terhadap pesta demokrasi ini. Konstelasi politik yang berlaku di Jawa Barat memperlihatkan kekhasan bahwa pemenang Pilkada tidak hanya mengacu pada hasil Pemilu 2004, –yakni pada jumlah perolehan suara dan kekuatan Partai Politik yang mengusung calon gubernur dan wakilnya –akan tetapi lebih mengacu pada figuritas calon yang berlaga. Kemenangan yang diperoleh pasangan Hade dengan dukungan partai menengah (PKS dan PAN), dibandingkan dua calon lain yang didukung partai besar seperti Aman (PDI-P, PPP, PKB) dan Da’i (Golkar, Demokrat), menjadi bukti bahwa background partai besar tidak selalu menghasilkan kemenangan calon dalam Pilkada.
Beberapa fenomena menarik yang layak untuk kita cermati dalam Pilgub Jabar antara lain kekalahan pemain lama (Da’I) dan besarnya angka Golput yang bahkan melebihi angka pemenang Pilkada itu sendiri. Kekalahan pemain lama disebabkan oleh adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja inchumbent. Sementara tingginya jumlah suara golput yang mencapai 35% dari total pemilih, menurut analis psikologi kebijakan publik Universitas Indonesia, Dr.Hamdi Muluk, merupakan ekspresi dari kondisi deprivasi (ketidakpuasan) yang nyaris absolut akibat dikhianatinya konsepsi Republik, yakni penghidupan masyarakat umum melalui seluruh sektor kehidupan. Ketika konsepsi ini dilanggar maka konsekuensinya adalah deprivasi.
Dalam konteks Pilgub Jabar 2008, ekspresi ini diperlihatkan dengan dua gejala umum, yakni tingginya persentase pemilih Golput dan kekalahan pemain lama. Banyaknya pemilih Golput merupakan ekspresi ketidakpercayaan absolut yang berujung pada pesimisme (tidak yakin dan tidak mau melakukan perubahan). Sementara konteks terpilihnya pendatang baru yang mengalahkan inchumbent merupakan klimaks deprivasi yang diekspresikan lebih positif melalui semangat untuk perubahan.
Ada setidaknya dua kesamaan karakter dari Pilgub dan Pilwalkot, yakni adanya persaingan antara pemain lama dan pemain baru, serta ancaman tingginya angka Golput. Para pemain lama dapat kita lihat dari munculnya Inchumbent Walikota Diani Budiarto dengan pasangannya Ahmad Ru’yat, Incumbent Wakil Ketua DPRD Jawa Barat yang didukung banyak partai besar (Partai Golkar, PDIP, PKS, Partai Patriot, PKPI, PPDI, PSI, PBSD, dan PDK); Dody Rosadi, Incumbent Sekretaris Daerah Kota Bogor, dengan pasangannya Erik Suganda yang diusung koalisi partai menengah seperti PAN, PPP, PBB, PKB. Sementara para pemain baru ditampilkan oleh pasangan lain seperti Ki Gendeng Pamungkas – Achmad Chusaeri dan Syafei Bratasendjaya – Akik Darul Tahkik dari jalur perseorangan, dan Iin Supriatini – Ahani yang memperoleh dukungan Partai Demokrat, PKPB, PBR, dan PPNUI.
KGP Jadi Simbol Fenomena Pilwalkot
Berbeda halnya dengan Pilgub Jabar, Inchumbent pada Pilwalkot Bogor –menurut survey yang ditampilkan oleh beberapa media lokal –menunjukkan tingkat popularitas yang paling tinggi di kalangan masyarakat Bogor dibandingkan calon lainnya. Sosok Diani sebagai inchumbent memang cukup sering tampil di publik melalui kegiatan subuh keliling dan kegiatan sosial yang mendapat sorotan positif oleh media. Kekurangan inchumbent dalam kinerja yang sering disoroti beberapa elemen khususnya mahasiswa tenggelam oleh lihainya inchumbent mengemas profil di kalangan awam.
Calon terpopuler berikutnya merupakan sosok cawalkot paling fenomenal, yakni KGP (Ki Gendeng Pamungkas). KGP yang sempat akan mundur dari perhelatan akbar Pilwalkot dan menyerahkan dukungannya kepada Diani, menyatakan bahwa berdasarkan hasil ritualnya yang dilakukan di dalam area Kebun Raya Bogor, Mbah Jepra mengatakan bahwa dirinya dan pasangannya yakni Achmad Chusaeri adalah pasangan yang hampir kalah (artinya akan menang). Statemen kontroversial KGP memang sudah menjadi trademark sebagaimana tingkah laku dan kehidupan mistisnya. Bahkan pada saat tes kesehatan, KGP sempat unjuk “kebolehan” mengebalkan tubuhnya dari jarum suntik.
Banyak komentar miring dari masyarakat yang tidak rela kotanya dipimpin oleh seorang dukun yang sering melontarkan pernyataan sarkastis dan berbau SARA melalui Front Pribuminya. Akan tetapi tidak sedikit juga masyarakat yang ternyata mendukung sepak terjangya kelak untuk menjadi Walikota. Terlepas dari siapa yang akan menjadi walikota nanti, inchumbent atau pendatang baru; Independen atau diusung parpol; yang jelas masyarakat mengharapkan penghidupan yang lebih baik dan sejahtera.
Sosok pemimpin baru ibarat mobil baru yang diyakini mampu berjalan lebih gesit, progresif, sekaligus memberikan rasa aman dan harapan positif. Akan tetapi, mobil baru perlu juga diwaspadai arah geraknya; apakah sesuai dengan track-track yang ia janjikan semasa kampanye (menuju jalan baru), atau masih berkutat pada jalan lama yang menjadi cermin penistaan rakyat dan neokolonialisme. Masyarakat sudah bosan dengan perilaku elit politik tanpa prinsip yang mengobral janji dan mengelabui mereka layaknya “old wine in a new bottle”: kemasannya berubah, pernak-pernik berganti dengan janji yang bergairah; namun isinya, kelakuannya, sama saja atau bisa jadi lebih busuk!
Sebagai masyarakat yang menginginkan penghidupan rakyat, dalam momen Pilkada ini, saatnyalah kita bangkit menggugat para calon pemimpin untuk meninggalkan jalan lama dan bersama-sama meretas jalan yang baru. Masa-masa kampanye sesaat lagi, diharapkan dapat menjadi ajang bagi masyarakat untuk dapat menyeleksi secara teliti, manakah diantara mereka yang betul-betul akan membangun jalan baru. Peran semua elemen, baik KPUD, Panwaslu, masyarakat, mahasiswa, maupun media massa sangat diperlukan demi terwujudnya tujuan dan cita-cita Pilwalkot Bogor: menghasilkan pemimpin baru dengan visi yang jernih dan brilian serta misi cermat dan strategis untuk membangun Kota Bogor.

Pemantau Pilkada Indikator Kualitas Demokrasi

Pemantau Pilkada Indikator Kualitas Demokrasi
Oleh Eka Febrial
Presidium BEM Se-Bogor
Penyelesaian berbagai krisis nasional dan persoalan di daerah, membutuhkan adanya suatu pemerintahan yang memperoleh legitimasi rakyat, dipercaya, dan berwibawa. Sedangkan untuk memperoleh pemerintahan yang demikian itu, tak bisa lain harus melalui jalan Pemilu, yang dilaksanakan dengan prinsip langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber), serta jujur dan adil (jurdil). Untuk memenuhi prinsip itu, penyelenggaraan Pilkada tentu perlu dipantau oleh segenap elemen masyarakat.
Adanya pemantau independen menjadi salahsatu indikator kualitas kehidupan berdemokrasi di level daerah itu. Setidaknya ada 5 indikator suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung yang diselenggarakan di suatu daerah.
Pertama, pemilih menggunakan hak pilihnya tanpa ada paksaan dan intimidasi. Kedua, petugas Pilkada menjalankan tugasnya dengan jujur dan adil. Ketiga, adanya panitia pengawas dan pemantau independen yang mengawasi jalannya Pilkada khususnya pemungutan dan penghitungan suara. Kemudian yang keempat, masyarakat secara umum menerima hasil Pilkada. Dan kelima, laporan hasil pemantauan pemantau Pilkada yang menyatakan bahwa Pilkada daerah itu berjalan secara demokratis dan minim kecurangan.
Sejumlah organisasi pemantau Pilkada, seperti LSM, kelompok mahasiswa, Forum Rektor, dan sebagainya, menjadi kepanjangan tangan rakyat dalam memantau pelaksanaan Pilkada. Namun, apakah organisasi-organisasi tersebut mampu memantau seluruh proses Pilkada di berbagai daerah, dan mengkoordinasikan kerja pemantauan –yang melibatkan banyak relawan– itu dalam waktu yang singkat?
Jawabnya, tentu mengandalkan kapasitas organisasi-organisasi itu saja masih belum memadai. Dalam hal ini, jurnalis dengan media massanya menjadi unsur pendukung, serta merupakan mata, telinga, dan mulut rakyat. Media massa memantau pelaksanaan Pilkada, dalam seluruh tahapan prosesnya, dan menyiarkan atau memberitakan hasil pantauannya, sehingga diketahui rakyat. Bahkan hasil pantauan organisasi pemantau Pilkada pun butuh media massa untuk bisa diketahui rakyat.
Titik Kritis Pilkada
Dalam proses penyelenggaraan Pilkada, selalu ada pelanggaran yang dilakukan oleh para peserta, bahkan penyelenggara. Peranan pemantau independen adalah mengawasi dan melaporkan adanya kecurangan-kecurangan dengan bekerjasama dengan Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Ada beberapa titik kritis yang sering menjadi celah perbuatan curang oleh oknum peserta maupun penyelenggara Pilkada. Titik kritis ini secara kasar dapat dibagi dalam dua tahapan. Tahap I, sebelum pemberian suara: Ini mencakup ke masa pendaftaran pemilih, pendaftaran dan verifikasi kandidat, persiapan menjelang kampanye dan pelaksanaan selama kampanye.Tahap II, pemberian suara dan perhitungan suara.
Titik kritis tahap I dapat meliputi pemalsuan data dalam pendaftaran kandidat; anggota panitia pemilu ikut berkampanye; intimidasi terhadap pendukung kandidat lain; pengrusakan atribut kampanye kandidat lain; money politics; birokrasi memobilisasi massa dengan menggunakan kewenangan birokratis yang dimilikinya; gangguan/sabotase atas jalannya kampanye secara umum. Selain itu kecurangan juga dapat meliputi manipulasi informasi kampanye dengan menggunakan kebohongan sebagai alat; kampanye tidak pada waktunya (sebelum/sesudah waktu yang ditentukan); pelanggaran materi kampanye; pelanggaran cara penggalangan dan penggunaan dana kampanye.
Pada Tahap II, titik kritis terletak pada hal-hal semacam pembukaan dan penutupan tempat pemungutan suara (TPS) tidak tepat waktu; kotak suara tidak kosong saat dimulainya pemungutan suara; multi vote (satu orang memasukkan lebih dari satu suara); pencoblosan perwakilan dan atau kolektif; intimidasi terhadap pemilih untuk memilih kandidat tertentu; intimidasi/kekerasan/penghalangan tugas terhadap saksi dari kandidat/parpol; manipulasi kertas suara atau tinta penanda (indelible ink); netralitas lokasi TPS; proses penghitungan tertutup bagi saksi parpol, kandidat, atau masyarakat, mulai dari tingkat TPS,hingga Kota.
Titik kritis lainnya bisa dilihat dari fenomena perusakan kertas suara (di tingkat TPS); penggelembungan perolehan suara; pengabaian panitia atas keberatan yang diajukan saksi/masyarakat; tidak diberitakannya berita acara dan sertifikat hasil perhitungan suara; manipulasi hasil perhitungan suara dengan program computer; pelaporan dan pencatatan rekapitalisasi hasil Pilkada yang tidak jujur; penolakan atas hasil Pilkada yang telah dikonfirmasikan/dikuatkan oleh hasil pemantauan-pemantauan independen (tidak ikhlas untuk kalah), dan banyak lagi kecurangan lainnya.
Pemuda dan Pilkada
Genderang Pemilihan Kepala Daerah Kota Bogor secara langsung sudah bertalu-talu. Momen strategis ini mengundang banyak sorotan masyarakat, termasuk kalangan mahasiswa sebagai agent of change, yang ingin mengawal prosesnya agar dapat berjalan sesuai dengan harapan masyarakat, yakni jujur dan adil. Untuk itu, sebagai bentuk kepedulian mahasiswa dalam menyikapi moment Pilkada ini, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Bogor membentuk tim pemantau independen Pilkada, dan mendaftarkan diri ke KPU Kota Bogor secara resmi. Selain itu, BEM Se-Bogor juga akan menggelar mimbar akademis against blind vote bagi pemilih pemula dari kalangan siswa SMA dan mahasiswa dari Perguruan Tinggi di Kota Bogor, sosialisasi melalui media leaflet, stiker, dll, serta aksi simpatik, dan sharing program kerja dengan para calon pasangan.
Meskipun banyak menimbulkan pro kontra di kalangan mahasiswanya sendiri, dengan alasan bahwa program-program ini sarat dengan kepentingan elit politik yang sedang bertarung memperebutkan kursi gubernur Jakarta dalam menjaring suara di dalam kampus, namun BEM Se-Bogor akan menjamin bahwa program-program tersebut akan sesuai dengan koridor akademis dan bebas dari kepentingan politik pragmatis. Dalam sebuah sistem demokrasi, adalah suatu hal yang wajar bila masyarakat bisa ikut serta dalam pengambilan keputusan. Begitu pun dengan mahasiswa di kampus dimana posisi kampus sebagi pusat diseminasi peradaban, pluralitas, dan pusat pengkajian berbagai ilmu (center of excellence) demi kemaslahatan bersama. Mahasiswa punya kesempatan untuk melakukan partisipasi.

Landasan Flilosofis dan Urgensi Pilkada

Pancasila sebagai landasan falsafah bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya bangsa Indonesia. Prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam Pancasila bersumber pada budaya dan pengaslaman bangsa Indonesia, yang berkembang dari upaya bangsa dalam mencari jawaban atas persoalan-persoalan yang esensial yang menyangkut makna atas hakikat suatu yang menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia.

Sila keempat dari Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, mengandung makna bahwa kekuasaan yang tertinggi berada di tangan rakyat. Karena itu kerakyatan disebut juga kedaulatan rakyat, artinya rakyat yang berkuasa dan menentukan, atau diistilahkan dengan demokrasi, yang berarti rakyat yang memerintah atau pemerintahan dengan mengikutsertakan rakyat.

Dalam suatu negara yang demokratis, yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat perlu adanya mekanisme pergantian kepemimpinan yang dilakukan secara periodik. Oleh karenanya, perlu ada sarana dimana rakyat dapat turut serta menentukan nasib dan masa depannya sendiri dengan cara memilih wakil-wakil mereka yang akan duduk di dalam pemerintahan (legislatif maupun eksekutif) yang akan memperjuangkan keinginan, aspirasi, dan kepentingan rakyat.

Pemilihan umum (pemilu) merupakan sarana di mana rakyat dapat menentukan pilihan politiknya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Pemilu adalah cara demokratis untuk membentuk pemerintahan perwakilan juga merupakan sarana dalam menentukan wakil-wakilnya yang diberikan mandat untuk menjalankan pemerintahan.

Pemilu adalah cermin kedaulatan rakyat, karena dengannya rakyat dapat menilai, mengevaluasi, dan menentukan wakil-wakil rakyat yang dianggap mampu untuk mengemban kekuasaan legislatif maupun eksekutif yang akan membimbing masyarakat kepada masa depan yang lebih baik. Pergantian kepemimpinan melalui Pemilu diharapkan dapat memunculkan partisipasi politik masyarakat yang tinggi dan kritis serta penguatan kedaulatan rakyat. Berdasarkan UU No.22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan Pemilu, pada level pemerintahan tingkat II, Kotamadya atau Kabupaten, Pemilu ini disebut dengan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau dikenal sebagai Pilkada.

Pilkada tingkat kotamadya sebagaimana yang sedang berlangsung di Kota Bogor memiliki peranan yang sangat strategis dan signifikan. Sebab setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (baik atau buruk) dapat dirasakan langsung oleh masyarakatnya. Sehingga peranan masyarakat untuk dapat mengevaluasi, menilai, dan memilih siapa yang akan memimpinnya selama 5 tahun ke depan juga menjadi sangat penting. Keengganan dalam menggunakan hak politik dalam Pilkada ini (golput) berarti tidak memperdulikan nasib daerahnya selama 5 tahun ke depan. Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang ada bisa jadi belum seideal yang diharapkan. Akan tetapi tetap ada yang lebih baik diantaranya yang bisa kita pilih, daripada tinggal diam dan membiarkan calon terburuk yang memenangkan Pilkada dan menjadi kepala daerah kita selama 5 tahun ke depan.

Eka Febrial (Presidium BEM Se-Bogor)

Politik Uang

Praktik Money Politic merupakan salahsatu tindak pelanggaran yang sering menodai kesucian proses Pilkada. Politik uang atau money politic telah mendorong sebagian masyarakat, umumnya kalangan menengah ke bawah, untuk memilih calon yang lebih banyak memberikan mereka uang dan katebelece lainnya, bukan calon pemimpin yang benar-benar berkualitas. Praktik ini pula yang menjadi pemeran utama dalam pembodohan politik yang dilakukan secara sadar oleh para elit kepada masyarakat. Demi mendapatkan kekuasaan, para oknum elit politik rela berhutang dan menghabiskan miliaran rupiah untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat.
Penting untuk disadari bahwa praktek Money Politic dalam mencapai kekuasaan dalam pemerintahan akan membawa pengaruh yang kontraproduktif bagi proses-proses pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di masa yang akan datang. Bahwasanya praktek ini sangat kotor dan menimbulkan potensi korupsi sangat tinggi. Modal money politic yang sangat besar jumlahnya dapat bersumber dari para pengusaha yang memiliki berbagai kepentingan pragmatis. Ketika calon kotor ini terpilih, ia memiliki hutang modal yang sangat besar; bahkan jauh lebih besar dari gajinya selama masa mengabdi. Kondisi ini membuatnya terdesak untuk menjadi kera yang mengutili asset Negara dengan jabatan politisnya (monkey politic) bagi kepentingan pengusaha-pengusaha bejat ini. Intinya, semakin banyak seorang calon membagikan uang haram ini, maka semakin besar KORUPSI yang akan dilakukannya!
Pemberian uang (baca: money politic) dengan maksud meminta dukungan juga merupakan bentuk ketakutan calon bersangkutan dan ketidakyakinannya dalam memperoleh dukungan yang tulus dari masyarakat. Padahal calon pemimpin yang diharapkan adalah calon pemimpin yang memang telah memiliki dukungan nyata dan memperoleh legitimasi dari masyarakat. Mereka adalah warga negara yang telah banyak memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi masyarakat dalam statusnya sebagai apapun; sebagai gurukah, birokratkah, aktiviskah, pengusahakah, anggota dewankah, bahkan sebagai ketua RW hingga ketua RT sekalipun. Dengan kontribusinya mereka telah memiliki modal sosial politik sehingga masyarakat pun mengakui dan melegitimasi kelayakannya sebagai pemimpin bagi mereka dan secara otomatis akan memilihnya tanpa embel-embel apapun.
Dengan kata lain, calon yang melakukan politik uang maupun pelanggaran Pilkada lain adalah orang-orang lemah dan minder yang sangat berambisi jabatan, sehingga menghalalkan segala cara untuk memperoleh jabatan itu.

Jumat, 05 September 2008

Pilkada Damai di Bulan Ramadhan

Pilkada Damai di Bulan Ramadhan

Oleh :Eka Febrial

Koordinator BEM Se-Bogor

Pilkada Kabupaten Bogor yang diputuskan berlanjut ke putaran kedua kini menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat maupun para pendukung calon. Kubu pasangan Rahman yang memperoleh suara sebesar 29,94 akan bersaing dengan pasangan Nusae yang berada di posisi runner-up. Putaran kedua diputuskan oleh KPUD Kabupaten Bogor berdasar perolehan suara para calon yang tidak mencapai kuota 30%+1 suara. Akan tetapi keputusan ini digugat oleh kubu Rahman yang berkeyakinan bahwa perolehan suara mereka telah melebihi 30% (berdasarkan perhitungan tim suksesnya); yang artinya sudah semestinya Rahman memenangkan Pilbup Bogor dan tidak perlu ada putaran kedua. Melalui kuasa hukumnya, tim Rahman mengajukan gugatan terhadap KPUD Kabupaten Bogor ke Pengadilan Tinggi Bandung. Kubu Rahman menuding KPUD telah melakukan kecurangan dan merekayasa hasil pemungutan suara agar terjadi putaran kedua.

Kasus Pilkada yang diwarnai sengketa semacam ini sudah pernah dialami oleh Kota Depok dan Provinsi Maluku Utara. Sengketa yang ada berakhir pada konflik yang berkepanjangan. Pilkadanya memang selesai, akan tetapi bara dendam yang tersimpan di kubu para pendukungnya belum juga sirna. Hal semacam ini tentunya tidak diharapkan terulang kembali di Kabupaten Bogor. Kita tentu sangat berharap bahwa Pilkada ini berlangsung damai, apapun hasilnya.

Kita sangat berharap para calon dapat mengendalikan diri dan para pendukungnya agar tetap menjaga suasana damai dan kekeluargaan dalam proses pemilihan Bupati Bogor ini. Terlebih, proses ini melewati Bulan Ramadhan yang merupakan bulan perdamaian dan kasih sayang. Semoga suasana dan berkah Bulan Ramadhan ikut menyertai proses Pilbup dan dimaknai dengan baik oleh para calon dan pendukungnya, sehingga potensi konflik diantara para pendukung dapat diredam. Jika memang tujuan para calon dalam menggapai kekuasaan ini adalah bentuk pengabdiannya kepada masyarakat sebagai Khalifah Al-Ardi (Khalifah di muka bumi), maka seharusnya tidak ada keinginan untuk melakukan manuver politik yang merugikan masyarakat. Menang atau kalah sebagai bupati bukanlah esensi karena perjuangan membela rakyat masih banyak jalannya.

Senin, 28 Juli 2008

Opini Pilkada Kabupaten

Jalan Baru Menggugat Kepemimpinan Baru

Oleh: Eka Febrial*

Kancah perpolitikan menjelang Pemilihan Bupati Bogor 2008-2013 semakin ramai dan hangat. Jutaan bahkan miliaran rupiah sedia dikorbankan demi memuaskan hasrat aktualisasi demokrasi yang dulu terpasung puluhan tahun lamanya. Pilkada, bagi sebagian masyarakat, seakan menjadi mimpi baru untuk mewujudkan transformasi total, bahkan kalau perlu revolusioner. Akan tetapi, bagi sebagian yang lain, Pilkada tak lebih dari ajang obral-mengobral janji palsu para elit politik yang memanfaatkan keluguan masyarakat dengan iming-iming janji, atau (bila perlu) dengan sogokan katabelece lain. Bahkan, yang ekstrem pesimistis memandang Pilkada dengan sebelah mata; hanya pesta pora yang menghamburkan uang di tengah kemiskinan dan penderitaan rakyat semata.

Antara Pilgub dan Pilbup: Siapa berikutnya?

Fenomena Pilkada yang baru saja berlangsung di Jawa Barat dapat menjadi objek studi yang relevan bagi respon masyarakat Jawa Barat terhadap pesta demokrasi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Konstelasi politik yang berlaku di Jawa Barat memperlihatkan kekhasan bahwa pemenang Pilkada tidak lagi dapat mengacu pada hasil Pemilu 2004, –yakni pada jumlah perolehan suara Partai Politik yang mengusung calon gubernur dan wakilnya –akan tetapi lebih mengacu pada figuritas calon yang berlaga. Kemenangan yang diperoleh pasangan Hade dengan dukungan partai menengah (PKS dan PAN), dibandingkan dua calon lain yang didukung partai besar seperti Aman (PDI-P, PPP, PKB) dan Da’i (Golkar, Demokrat), menjadi bukti bahwa background partai besar tidak dapat dijadikan acuan mutlak untuk memprediksi kemenangan seorang calon dalam Pilkada.

Ada beberapa fenomena menarik yang layak untuk kita cermati dalam Pilgub Jabar 2008. Pertama, fenomena kekalahan pemain lama yang direpresentasikan khususnya oleh pasangan Da’I; dan kedua, besarnya angka Golput yang bahkan melebihi angka pemenang Pilkada itu sendiri.

Fenomena pertama dapat kita cermati dengan menggunakan pola pikir (school of tought) “love to hate relationship”. Analisis ini menjelaskan bahwa pada awal kepemimpinannya, terbangun suatu hubungan kepercayaan dan harapan besar dari masyarakat kepada sang pemimpin untuk bisa memberikan kesejahteraan bagi mereka. Pola hubungan ini kemudian perlahan berubah menjadi suatu kebencian, ketika masyarakat melihat bahwa harapannya dikhianati berkali-kali oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat, bahkan menjelma layaknya penjajahan baru (neocolonialism) yang mengeruk hak-hak rakyat demi kepentingan pribadi dan golongannya. Perilaku traumatik inilah yang kemudian memunculkan opini di masyarakat pada Pilgub 2008: “asal bukan dia”.

Fenomena lain yang perlu dicermati adalah tingginya jumlah suara golput yang mencapai 35% dari total pemilih. Rendahnya tingkat partisipasi politik ini, menurut analis psikologi kebijakan publik Universitas Indonesia, Dr.Hamdi Muluk, merupakan ekspresi dari kondisi deprivasi (ketidakpuasan) yang nyaris absolut akibat dikhianatinya konsepsi Republik Indonesia, yakni penghidupan masyarakat. Republik, yang berarti kembali ke publik (masyarakat umum), semestinya diejawantahkan dengan penghidupan masyarakat umum melalui seluruh sektor kehidupan. Ketika konsepsi ini dilanggar maka konsekuensinya adalah deprivasi dengan setidaknya dua ekspresi: mosi tidak percaya atau gerakan perubahan.

Dalam konteks Pilgub Jabar 2008, ekspresi ini diperlihatkan dengan dua gejala umum, yakni tingginya persentase pemilih Golput dan kekalahan pemain lama. Banyaknya pemilih Golput merupakan ekspresi ketidakpercayaan absolut yang berujung pada pesimisme (tidak yakin dan tidak mau melakukan perubahan). Sementara konteks terpilihnya pendatang baru yang mengalahkan inchumbent merupakan klimaks deprivasi yang diekspresikan lebih positif melalui semangat untuk perubahan.

Menarik fenomena diatas ke dalam konteks Pilkada Kabupaten Bogor, ada beberapa kesamaan karakter dari kedua Pilkada ini, yakni adanya persaingan antara pemain lama dan pemain baru, serta ancaman tingginya angka Golput akibat ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah Kabupaten Bogor saat ini. Para pemain lama dapat kita lihat dari munculnya para anggota dewan yang bersaing dalam kancah pesta rakyat ini, diantaranya pasangan Rahman, Djurus, dan Nu Sae. Sementara beberapa pendatang baru direpresentasikan oleh pasangan Sae dan Annur. Perbedaannya, para pemain lama dalam konteks disini menjabat sebagai legislatif, bukan eksekutif. Mereka tidak langsung berperan sebagai pengambil kebijakan, meskipun peran serta mereka tidak dapat dinafikan. Memang masih ada anggota dewan yang betul-betul berjuang demi terpenuhinya aspirasi masyarakat, namun tidak sedikit dari mereka yang justru tidak prorakyat, akan tetapi propemerintah, propartai, dan pro-pro lain yang mengkhianati amanat rakyatnya. Sehingga, disini masyarakat perlu lebih teliti melihat profil para calon melalui jejak-rekamnya selama menjabat sebagai anggota dewan.

Kesamaan karakter kedua muncul dari realita bahwa sesungguhnya masyarakat sudah bosan dengan penderitaan dan pengkhianatan serta mendambakan munculnya sosok perubahan yang dapat dipercaya untuk menghidupkan kembali konsepsi republik di Kabupaten Bogor secara utuh. Kemungkinannya, masyarakat bisa jadi sudah terlanjur kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah sehingga mengakibatkan besarnya potensi angka golput; atau terpilihnya sosok baru yang mewakili idealisme dan harapan mereka. Lebih menarik lagi, dalam Pilbup Bogor ini, muncul calon perseorangan yang menafikan dukungan partai politik. Calon perseorangan ini bisa jadi alternatif yang potensial dalam perolehan suara karena diuntungkan oleh fenomena menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik. Segala kemungkinan masih bisa terjadi dan berubah seketika, bergantung pada respon masyarakat terhadap kampanye para calon dalam waktu dekat ini.

Jalan Lama vs Jalan Baru

Sosok pemimpin baru ibarat mobil baru yang diyakini mampu berjalan lebih gesit, progresif, sekaligus memberikan rasa aman dan harapan positif. Akan tetapi, mobil baru perlu juga diwaspadai arah geraknya; apakah sesuai dengan track-track yang ia janjikan semasa kampanye (menuju jalan baru), atau masih berkutat pada jalan lama yang menjadi cermin penistaan rakyat dan neokolonialisme. Masyarakat sudah bosan dengan perilaku elit politik tanpa prinsip yang mengobral janji dan mengelabui mereka layaknya “old wine in a new bottle”: kemasannya berubah, pernak-pernik berganti dengan janji yang lebih bergairah; namun isinya, kelakuannya, sama saja: busuk!

Meretas jalan baru memang tak semudah menempuh jalan tol. Meretas jalan baru artinya secara totalitas meninggalkan jalan lama dan membuat jalan baru di lahan yang baru: mencerabuti ilalang-ilalang nilai lama yang menghalangi perubahan secara tuntas hingga ke akarnya; mengukur dan mendesain dengan cermat rancangan demi rancangan jalan hingga tujuan akhir; menciptakan jalan itu sebagai sebuah sistem dan tatanan yang utuh; dan akhirnya melintasi jalan baru itu hingga mencapai tujuan akhirnya: kesejahteraan bersama.

Kemungkinan arah pemimpin baru untuk menjadi “old wine in a new bottle” atau “mobil baru di jalan yang baru” sama besarnya. Sebagai masyarakat yang menginginkan kembali penghidupan rakyat, dalam momen Pilkada ini, sudah saatnyalah kita bangkit menggugat para calon pemimpin baru untuk meninggalkan jalan lama dan bersama-sama meretas jalan yang baru. Masa-masa kampanye sesaat lagi, diharapkan dapat menjadi ajang bagi masyarakat untuk dapat menyeleksi secara teliti, manakah diantara mereka yang betul-betul akan membangun jalan baru. Peran semua elemen, baik KPUD, Panwaslu, masyarakat, mahasiswa, maupun media massa sangat diperlukan demi terwujudnya tujuan dan cita-cita Pilbup Bogor: menghasilkan pemimpin baru dengan visi yang jernih dan brilian serta misi yang cermat dan strategis untuk membangun Kabupaten Bogor.

* Koordinator BEM Se-Bogor, Menteri Kajian Strategis Daerah BEM KM IPB, Anggota National Election Institute (NEI) LSM dan Tim Penilai Independen Pemilihan Umum

WASPADA WABAH DBD

(BEM Se-Bogor Turun Lapang)

Curah hujan yang tinggi di Kota Bogor telah menjadikannya sebuah Kota yang sangat popular dengan julukan Kota Hujan. Namun curah hujan yang tinggi ini pula telah menjadikannya wilayah endemik bagi penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Setiap tahun selalu ada penderita DBD berjatuhan di Kota Bogor, bahkan ada yang mengalami kematian.

DBD ini memang merupakan penyakit yang mematikan dan hingga saat ini belum ditemukan vaksinnya. Penderita yang sudah mencapai stadium parah dapat mengalami kematian. Penyakit ini dapt dikenali melalui gejala yang muncul di tubuh penderita, antara lain bintik-bintik merah (pendarahan ringan di pori-pori), demam tinggi, pendarahan tingkatmenengah seperti mimisan, atau bahkan pendarahan hebat seperti muntah darah dan BAB berdarah (jarang terjadi).

Akibatnya yang mengerikan telah menempatkan DBD sebagai salahsatu penyakit yang paling perlu diwaspadai, terlebih bagi Kota Bogor yang menjadi kawasan endemiknya. Karena DBD bukan tergolong penyakit yang dapat diobati, maka pendekatan solusinya lebih diutamakan pada pendekatan preventif dibandingkan kuratif. Pendekatan preventif dilakukan dengan memotong siklus vektor pembawa bibit penyakit DBD, yakni nyamuk Aedes Aegypti. Pemotongan siklus ini dapat dilakukan dengan pemberantasan sarang nyamuk, terutama di tempat-tempat potensial tergenangnya air jernih seperti bak mandi, tempayan, sumur, kolam, dan sampah-sampah yang dapat menampung air hujan.

Sehingga sudah jelas langkah-langkah yang perlu dilakukan masyarakat untuk melakukan pencegahan penyakit DBD ini adalah dengan menjaga kebersihan rumah dan lingkungan sekitarnya. Akan tetapi, masyarakat pada umumnya masih beranggapan bahwa DBD dapat dicegah dengan melakukan fogging (penyemprotan insektisida). Padahal fogging hanya mampu memberantas nyamuk-nyamuk dewasa saja, dan hanya bertahan dalam dua hari. Belum lagi efek buruknya bagi kesehatan, terlalu banyak insektisida dapat meningkatkan potensi berkembangnya zat karsinogenik (penyebab kanker) di dalam tubuh manusia. Oleh sebab itu, maka pencegahannya melalui penjagaan kebersihan rumah dan lingkungan jauh lebih diutamakan daripada fogging.

BEM Se-Bogor bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Bogor turut membantu masyarakat melalui penyuluhan dan pemantauan sarang nyamuk di seluruh kelurahan di Kota Bogor. Sebanyak 68 orang ditugaskan masing-masing di tiap kelurahan didampingi kader-kader jumantik (juru pemantau jentik) di tiap RW-nya. Melalui survey tersebut, dapat dinotifikasi beberapa permasalahan umum yang muncul di masyarakat Kota Bogor, antara lain:

1. Belum adanya sistem pembuangan sampah yang baik di Kota Bogor. Sehingga masih banyak masyarakat yang membuang sampah di sungai, atau membiarkannya bertumpuk di suatu tempat yang berpotensi menimbulkan bibit penyakit, termasuk DBD.

2. Belum adanya kesadaran dan pemahaman umum masyarakat untuk bersama-sama menjaga kebersihan lingkungan rumahnya.

3. Kurang terberdayakannya kader pemberantasan sarang nyamuk karena masalah keterbatasan honor dari pemerintah daerah.

4. Kurang terberdayakannya pemerintah setempat (RW dan RT) dalam mendukung terwujudnya lingkungan yang bersih dari sarang nyamuk dan bibit penyakit lain.

Jumat, 18 Juli 2008


Hasil Rapat Koordinasi BEM Se-Bogor Kamis 17 Juli 2008 di Universitas Pakuan.

1. Pada masa akhir kepengurusan di pemerintahan daerah baik Kota maupun Kabupaten Bogor, semua bentuk advokasi tetap perlu dilakukan meskipun perlu diprioritaskan pada bargaining dengan para calon bupati dan walikota.

2. Dalam waktu dekat ini gerakan BEM Se-Bogor akan difokuskan di Kabupaten Bogor mengingat jadwal pemilihannya yang lebih dulu, yakni 24 Agustus 2008.

3. Bargaining dengan para calon dirumuskan dalam poin-poin kontrak politik yang meliputi empat permasalahan strategis Kabupaten Bogor,yakni :

v Kemskinan dan pengangguran

v Pendidikan

v Kesehatan

v Pertanian

4. Alur gerakan yang hendak dibuat yakni:

Ha
1. Pembentukan tim kajian dan audiensi di media:
pendidikan, univ pakuan, audiensi di pakuan raya
kemiskinan, AKA, audiensi di Radar Bogor
Pertanian, IPB dan STPP, audiensi di Jurnal Bogor
Kesehatan, Akbid, audiensi di RRI

info jadwal audiensi dikabarkan lagi..tapi diantara rentang 21-26 Juli 2008

2. Lokakarya Pilkada
26 Juli 2008
tempat kampus IPB
masing2 kampus mengutus 2 orang

Lokakarya diharapkan mengasilkan poin-poin kontrak politik yang akan disosialisasikan kepada para cabup dan cawabup

3.Debat publik dan kontrak politik
Akan diselenggarakan Unida pada awal agustus

Kamis, 08 Mei 2008

Tugu Rakyat

PRESS RELEASE
BEM SELURUH INDONESIA (BEM SI)

TUJUH GUGATAN RAKYAT (TUGU RAKYAT)

Tahun ini genap sudah 10 tahun reformasi 1998 berjalan, dengan harapan terbesar dapat mengembalikan pemerintahan seperti apa yang diamanatkan oleh UUD 1945 sehingga tercipta perubahan bangsa menuju keadilan social dan kedaulatan bangsa Indonesia seutuhnya. REFORMASI BELUM SELESAI! Saatnya BANGSA INDONESIA bangkit, tanpa membesar-besarkan perbedaan pandangan dan ideologi, membangun sebuah gerakan yang konstruktif dan solutif untuk menjawab permasalahan bangsa.

Menyikapi hal tersebut, BEM SELURUH INDONESIA (BEM SI) mengadakan Konferensi BEM SELURUH INDONESIA (BEM SI) yang telah dilaksanakan pada Jum`at-Minggu, 21-23 Maret 2008 di Depok, Jawa Barat. Masalah-masalah yang dibahas oleh peserta konferensi terfokus pada permasalahan-permasalahan fundamental, mendasar, dan mendesak untuk diselesaikan sebagai wujud bagi bangsa Indonesia untuk bangkit dan berdaulat seutuhnya.

Reformasi belum selesai, dan substansi reformasi belum tercapai. Dengan demikian, kami menyatakan bahwa cita-cita reformasi baru tercapai apabila Tujuh Gugatan Rakyat (TUGU RAKYAT) terpenuhi:

1. Nasionalisasi aset strategis bangsa.
2. Wujudkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang bermutu, terjangkau, dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Tuntaskan kasus BLBI dan korupsi Soeharto beserta kroni-kroninya, sebagai perwujudan kepastian hukum di Indonesia.
4. Kembalikan kedaulatan bangsa pada sektor pangan, ekonomi, dan energi.
5. Jamin ketersediaan dan keterjangkauan harga kebutuhan pokok bagi rakyat.
6. Tuntaskan reformasi birokrasi dan berantas mafia peradilan.
7. Selamatkan lingkungan Indonesia dan tuntut Lapindo Brantas untuk mengganti rugi seluruh dampak dari lumpur Lapindo.

Demikianlah pernyataan sikap yang telah kami rumuskan bersama dngan keyakinan membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi Bangsa Indonesia. Pernyataan ini adalah salah satu titik perjuangan kami dan komitmen atas pernyataan ini akan kami pegang teguh sebagai landasan perjuangan mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Tidak ada yang dapat menghentikan langkah kami selain Tuhan memutuskan jasad kami terbujur kaku di bumi pertiwi demi bangsa yang kami cintai.

HIDUP MAHASISWA !!
HIDUP RAKYAT INDONESIA !!

Depok, 23 Maret 2008
Atas Nama BEM Seluruh Indonesia
Koordinator Pusat

Ttd.

Budiyanto

Minggu, 27 April 2008

Jalan Baru Menggugat Kepemimpinan Baru

Jalan Baru: Menggugat Kepemimpinan Baru
Oleh: Eka Febrial
“Seven social sins which is responsible to the total crisis of one nation is politic without princip, wealth with no work, commercial without moral, education without character, pleasure with no solidarity, science without humanism, and worship without sacrifice”
– Mahathma Gandhi –
Kancah perpolitikan menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 semakin ramai dan hangat. Pemilihan Kepala Daerah di berbagai provinsi, kota, dan kabupaten seakan tak ada habisnya mengiringi hari-hari penuh pesta demokrasi. Miliaran, bahkan triliunan rupiah habis sudah demi memuaskan hasrat aktualisasi demokrasi yang dulu terpasung puluhan tahun lamanya. Pilkada, bagi sebagian masyarakat, seakan menjadi mimpi baru untuk mewujudkan transformasi total, bahkan kalau perlu revolusioner. Akan tetapi, bagi sebagian yang lain, Pilkada tak lebih dari ajang obral-mengobral janji palsu para elit politik yang memanfaatkan keluguan masyarakat dengan iming-iming janji, atau (bila perlu) dengan sogokan katabelece lain. Bahkan, yang ekstrem pesimistis memandang Pilkada dengan sebelah mata; hanya pesta pora yang menghamburkan uang di tengah kemiskinan dan penderitaan rakyat.
Pemilih “asal bukan dia” dan Golput
Fenomena Pilkada yang baru saja berlangsung di Jawa Barat dapat menjadi objek studi yang relevan bagi respon masyarakat terhadap pesta demokrasi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Konstelasi politik yang berlaku di Jawa Barat memperlihatkan kekhasan dengan tidak lagi mengacu pada hasil Pemilu 2004, –yakni pada jumlah perolehan suara Partai Politik yang mengusung calon gubernur dan wakilnya –akan tetapi lebih melihat figuritas calon yang berlaga.
Slogan “kepemimpinan muda dan harapan baru” telah menggiring sebagian besar masyarakat Jawa Barat yang properubahan untuk memilih pendatang baru dalam laga politik ini. Total suara 39% yang diperoleh pasangan Hade, dibandingkan dengan Aman (35%) dan Da’i (25%), memunculkan sebuah hipotesa umum, bahwa masyarakat Jawa Barat sudah bosan dengan tingkah pemain lama yang tidak mampu memberikan solusi bagi permasalahan rakyat. Fenomena ini dapat dianalisis dengan suatu pola pikir (school of tought) politik “love to hate relationship” –dimana awalnya terbangun suatu hubungan cinta dan harapan besar masyarakat kepada sang pimpinan untuk bisa memberikan kesejahteraan bagi mereka. Pola hubungan ini kemudian berubah menjadi suatu kebencian, ketika masyarakat melihat harapannya dikhianati oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat bahkan terkesan seperti penjajahan baru (neocolonialism). Perilaku traumatik inilah yang kemudian memunculkan opini di masyarakat pada ajang Pilgub 2008: “asal bukan dia”.
Fenomena lain yang perlu dicermati adalah tingginya jumlah suara golput yang mencapai 35% dari total pemilih. Rendahnya tingkat partisipasi politik ini, menurut analis psikologi kebijakan publik Universitas Indonesia, Dr.Hamdi Muluk, merupakan ekspresi dari kondisi deprivasi (ketidakpuasan) yang nyaris absolut akibat dikhianatinya konsepsi Republik Indonesia. Republik, yang berarti kembali ke publik (masyarakat umum), semestinya diejawantahkan dengan penghidupan masyarakat umum melalui seluruh sektor kehidupan. Ketika konsepsi ini dilanggar maka konsekuensinya adalah deprivasi dengan setidaknya dua ekspresi: mosi tidak percaya atau gerakan perubahan.
Dalam konteks Pilgub Jabar 2008, ekspresi ini diperlihatkan dengan dua gejala umum, yakni tingginya persentase pemilih Golput dan terpilihnya calon “asal bukan dia”. Banyaknya pemilih Golput merupakan ekspresi ketidakpercayaan absolut yang berujung pada pesimisme (tidak yakin dan tidak mau melakukan perubahan). Sementara konteks terpilihnya pendatang baru merupakan klimaks deprivasi yang diekspresikan lebih positif melalui semangat untuk perubahan. Dengan melihat konteks ini, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya masyarakat sudah bosan dengan penderitaan dan mendambakan munculnya sosok perubahan yang dapat menghidupkan kembali konsepsi republik secara utuh.
Jalan Lama vs Jalan Baru
Terpilihnya pemimpin baru, meminjam istilah Dr.Rizal Ramli, ibarat mendapatkan mobil baru yang diyakini mampu berjalan dengan gesit, progresif, sekaligus memberikan rasa aman dan harapan positif. Akan tetapi, mobil baru ini perlu juga diwaspadai arah geraknya; apakah sesuai dengan track-track yang ia janjikan semasa kampanye (menuju jalan baru), atau malah tersesat kembali kepada jalan lama yang berujung pada penistaan rakyat dan neokolonialisme. Masyarakat sudah bosan dengan perilaku elit politik tanpa prinsip yang mengelabui mereka layaknya “old wine in a new bottle”, kemasannya berubah, sosok pemimpinnya berubah, namun isinya sama saja: anggur masam!
Meretas jalan baru memang tak semudah menempuh jalan tol. Meretas jalan baru, menurut Master Trainer kepemimpinan dan SDM, Arief Munandar, artinya meninggalkan jalan lama dan membuat jalan baru di lahan yang baru: mencerabuti ilalang-ilalang nilai lama yang menghalangi perubahan secara tuntas hingga ke akarnya; mengukur dan mendesain dengan cermat rancangan demi rancangan jalan hingga tujuan akhir; menciptakan jalan itu sebagai sebuah sistem yang utuh; dan akhirnya dengan mobil yang baru, kita melintasi jalan baru itu hingga mencapai tujuan akhirnya: kesejahteraan bersama.
Kemungkinan arah pemimpin baru untuk menjadi “old wine in a new bottle” atau “mobil baru di jalan yang baru” sama besarnya. Sebagai masyarakat yang menginginkan kembali utuhnya konsepsi republik sebagaimana diusung oleh para founding fathers kita, dalam momen kebangkitan bangsa ini, sudah saatnyalah masyarakat menggugat para pemimpin baru untuk meninggalkan jalan lama dan bersama-sama meretas jalan baru. Bangkit Indonesiaku!

Eka Febrial*
* Menteri Kajian Strategis Daerah BEM KM IPB, Koordinator BEM Se-Bogor, Anggota National Election Institute (NEI) LSM dan Tim Penilai Independen Pemilihan Umum

Jumat, 18 April 2008

Kepemimpinan Kaum Muda

Pemilihan kepala daerah di Provinsi Jawa Barat memunculkan kejutan besar. Pasangan generasi muda Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf diperkirakan menang berdasarkan hasil hitung cepat. Meskipun kita harus menunggu perhitungan formal dari KPUD Jabar, hasil hitung cepat menunjukkan isyarat jelas bahwa mayoritas menginginkan perubahan.


Ada angka golput cukup besar (ditaksir 35 persen). Ini bukti kekecewaan masyarakat belum sepenuhnya dapat disembuhkan.

Fakta itu sebagai pelajaran berharga, tidak hanya bagi kepala daerah incumbent, melainkan juga mengingatkan pemimpin baru yang akan diberi kepercayaan. Siapa pun yang ingin berkuasa harus mampu membaca pikiran dan perasaan rakyat. Mereka harus peka terhadap perkembangan pemikiran dan perasaan rakyat yang dipimpinnya.


Pelajaran lain yang patut direnungkan adalah keharusan regenerasi kepemimpinan. Ini tak berarti kaum tua harus dipaksa mundur dari gelanggang atau dilepas dari tanggung jawabnya untuk membangun bangsa. Tak berarti juga kaum muda harus merebut panggung kekuasaan dengan segala cara.

Kepemimpinan mengandung pengertian kemampuan mempersiapkan generasi yang akan melanjutkan perjuangan nilai dan ide bersama. Begitulah sekurang-kurangnya pandangan John C Maxwell, pakar manajemen dan kepemimpinan yang telah menjadi klasik.
Dalam salah satu buku larisnya, Maxwell (1996) mengutip pernyataan John F Kennedy dalam pidato televisi pada 1959. Kennedy menegaskan, "Sudah tiba waktunya untuk suatu generasi baru memimpin bangsa ini".


Pidato itu sangat bertenaga dan sesuai dengan semangat yang tumbuh pada zamannya sehingga dua tahun kemudian dia terpilih menjadi presiden AS ke-35 pada usia 44 tahun. Usia yang tak jauh beda dengan Heryawan dan Dede (masing-masing 41 tahun).

Sejarah mencatat Kennedy berkuasa dalam waktu yang sangat singkat, hanya dua tahun (1961-1963). Tapi, itu tak terjadi karena dia gagal menjalankan tugas, melainkan karena dia teguh memegang prinsip dan akhirnya dikorbankan oleh sebuah konspirasi yang menjadi lembaran hitam dalam sejarah AS.

Salah satu pesan Kennedy yang amat terkenal untuk bangsa Amerika ialah: "Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country". Pesan ini mengajarkan pengabdian yang tulus kepada bangsa dan negara, sangat relevan untuk mencambuk pejabat negara yang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan keluarganya.


Kennedy juga menyampaikan seruan kepada bangsa-bangsa di dunia berkaitan dengan peran AS yang menjadi semakin sentral usai Perang Dunia II. "My fellow citizens of the world, ask not what America will do for you, but what together we can do for the freedom of man".

Spirit serupa muncul dari calon presiden AS Barack Obama yang menggencarkan tema kampanye: "CHANGE, we can believe in". Bila pertanyaan dan kesangsian kini ditujukan kepada pasangan Heryawan dan Dede (Hade) yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN), itu sangat wajar.

Kedua figur itu masih anak bawang dalam percaturan politik nasional dan sangat hijau dalam menangani pelik birokrasi pemerintahan. Kedua partai pendukungnya juga termasuk pendatang baru yang lahir di era reformasi.


Tapi, faktor kemudaan tidak selalu menjadi kelemahan karena bisa bermakna kegesitan, kesiapan untuk berkorban, dan ketulusan bekerja. Setiap generasi memiliki persepsi sendiri dan membangun jurang yang tak terjembatani. Klaim sepihak dilontarkan tanpa mempertimbangkan kapasitas, integritas dan akseptabilitasnya di mata publik.


Kapasitas artinya kemampuan untuk menjalankan semua tugas dengan segala persyaratan yang berat. Integritas adalah kualitas moral yang akan mencegah seseorang dari segala bentuk penyimpangan. Akseptabilitas bermakna kepercayaan yang diberikan publik dari berbagai macam latar belakang.

Pasangan Hade terbukti telah mendapat akseptabilitas yang luas, tetapi kapasitas dan integritasnya masih harus diuji. Jika berhasil mengatasi ujian itu dengan baik, maka akseptabilitas mereka akan bertambah luas. Bila dipandang dari esensi kepemimpinan, persoalannya bukan terletak pada umur, tua atau muda.

Seorang tokoh tua mungkin telah banyak pengalaman dan teruji dalam praktik, tapi integritasnya boleh jadi sudah luntur dan akibatnya masyarakat hilang kepercayaan. Rekam jejak yang panjang dalam berbagai posisi dan jabatan tidak berbuah credit point, tapi diskredit dan defisit kepercayaan.

Jika seorang tokoh senior macam itu memaksakan diri berkuasa, ia mengkhianati esensi kepemimpinan. Sebaliknya, seorang tokoh muda wajar saja bila miskin pengalaman dan kapasitasnya diragukan.


Namun, masyarakat bisa melihat integritas tokoh muda yang tinggi dalam beberapa amanat yang pernah dijalankannya. Dari situ terbangun kepercayaan baru dan harapan bahwa perubahan bisa dilakukan jika tokoh muda itu diberi kesempatan lebih luas untuk memimpin. Maka, tokoh muda bisa mengalami surplus kepercayaan di tengah keterbatasannya.


Fakta yang terjadi bisa berbeda. Ada tokoh senior yang kapasitas dan integritasnya mumpuni. Karena itu kepercayaan masyarakat terus tinggi. Tokoh macam ini sulit tergantikan. Hanya kearifan dan kebesaran jiwanya yang membuat alih generasi mungkin terjadi.

Itulah yang dilakukan Rasulullah SAW ketika pada masa akhir hidupnya mengangkat Usamah bin Zaid sebagai komandan pasukan untuk menghadapi tentara Romawi. Dalam barisan Usamah terdapat para sahabat senior.


Kemampuan Usamah teruji betul di lapangan, tak hanya mengandalkan kemasyhuran ayahnya, Zaid bin Haritsah. Sayang, dalam sejarah Indonesia kita menyaksikan tokoh sekelas Soekarno atau Soeharto gagal mempersiapkan regenerasi sehingga bangsa ini secara kolektif tidak mengalami pematangan kepemimpinan nasional.

Fakta lain yang menyedihkan juga tak mustahil terjadi. Ada tokoh muda yang mendapat kepercayaan publik, tapi enggan belajar meningkatkan kapasitas dan menjaga integritasnya. Akibatnya, masa uji kepemimpinannya sia-sia.


Masyarakat menyaksikan inkompetensi dan under capacity, di samping pelarutan sikap dan nilai. Pada titik ini frustrasi publik akan meledak karena tokoh muda yang dipercaya akan melakukan perubahan mengandaskan harapan yang tersisa.


Kita menyambut gembira keberanian warga Ciheulang di Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, yang bertekad akan menagih janji gubernur dan wakil gubernur Jabar yang baru terpilih. Pada masa kampanye para cagub/cawagub berjanji akan memperjuangkan layanan pendidikan dan kesehatan gratis bagi warga miskin.

Masa kampanye pilkada Jabar ditandai dengan peristiwa tragis ketika atap gedung SD Pasundan 3 di Babakan Ciparay rontok dan melukai sejumlah muridnya (27/3). Pemimpin muda tak boleh alergi dengan kritik dan tuntutan warga.


Sejak sekarang mereka harus bersiap bekerja 24 jam sehari dan tujuh hari dalam sepekan. Tak ada waktu menghibur diri. Derita warga juga datang silih-berganti.

Hiburan bagi seorang pemimpin ialah apabila menyaksikan warganya tak ada lagi yang kelaparan dan bisa tersenyum karena mendapat pekerjaan layak. Kebahagiaan pemimpin apabila seluruh warganya bisa menyekolahkan anak sehingga menjadi calon pemimpin yang lebih berkualitas pada masa depan.


Ikhtisar:
- Tantangan berat menghadang para pemimpin baru di Jabar.
- Warga menaruh harapan besar pada mereka, termasuk menunggu realisasi janji-janji.

Minggu, 13 April 2008

Selasa, 25 Maret 2008

Objektifitas LKPj Walikota Bogor 2007

Objektifitas LKPj Walikota Bogor 2007

Sidang Paripurna DPRD Kota Bogor yang digelar dalam rangka memutuskan rekomendasi terhadap LKPJ Walikota siang tadi (19/3), layaknya pembagian rapor siswa di akhir semester ajaran. Setelah satu tahun Walikota mengomandoi jalannya roda pemerintahan, hari ini Ia harus menerima hasil evaluasi dan beberapa catatan penting dalam perjalanan kerjanya. Anggota dewan –dalam hal ini sebagai evaluator –telah berperan cukup baik dalam melakukan penilaian LKPj mitranya. Pada poin umum misalnya; disampaikan bahwa, berdasar pengkajian Pansus, LKPj yang diberikan walikota belum mempresentasikan keseluruhan agenda kerja dan belum menunjukkan itikad baik untuk melaporkan hasil kerja apa adanya. Beberapa data dan informasi tidak selaras antara walikota dengan SKPD-nya. Hal ini juga menandakan lemahnya koordinasi dan manajemen internal pemerintah kota.
Namun begitu, sangat disayangkan peranan anggota dewan dalam evaluasi ini dibatasi pada ruang rekomendasi dan perumusan catatan strategis saja. Seharusnya ada semacam nilai yang dapat menyatakan kualitas keberhasilan kinerja pemerintah kota sehingga masyarakat bisa melihat pandangan anggota dewan terhadap hasil kerja para pejabat pemerintahnya.

LKPj = Rapor Penuh Angka Merah
Selama penyampaian rekomendasi LKPj walikota, beberapa hadirin terlihat suntuk, bahkan ada pula yang sempat tertidur. Hal ini dapat dimaklumi karena memang rekomendasi yang disampaikan cukup banyak dan terkesan membosankan. Analogikan seperti seorang ayah yang jenuh melihat nilai rapor anaknya yang selalu “kebakaran”; artinya persoalan yang muncul dalam LKPj 2007 ini tak lebih dari problematika klasik yang berlarut-larut tanpa adanya penyelesaian yang baik oleh pemerintah.
Empat permasalahan strategis yang menjadi prioritas sejak dirancang Renstra di awal pemerintahannya belum juga mengalami perbaikan yang signifikan. Transportasi, Kebersihan, PKL, dan Kemiskinan masih menjadi peer besar yang menunggu peran riil pemerintah; bukan sekedar formalitas pengadaan program saja. Selain itu, masih ada juga masalah esensial lain yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mulai dari soal pendidikan, perizinan dan pengaturan tata ruang, pelayanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi mikro, pelaksanaan agenda Pilkada, sampai manajemen internal di tubuh pemerintah.

Tindak Lanjut LKPj
Ada pula hadirin yang mengomentari bahwa Sidang Paripurna LKPj ini tidak lebih dari sandiwara adanya. Komentar pesimistis ini mungkin muncul akibat hilangnya trust dan ungkapan kekecewaan yang mendalam dari sebagian masyarakat terhadap pemerintah. Akan tetapi bagi seorang aktivis, ungkapan ini tidak boleh terlontar. LKPj saat ini, meskipun banyak kekurangannya, tetap harus dikawal penindaklanjutannya. Beberapa rekomendasi dan catatan strategis yang diberikan para wakil rakyat jangan sampai terbuang di forum-forum saja.
Dalam hal inilah maka peranan anggota dewan sangat signifikan. Pengawasan dan masukan yang konstruktif bagi pemerintah kota harus dijalankan seoptimal mungkin sampai kepengurusan berakhir. Begitu pun pemerintah, di akhir masanya harus menunjukkan iktikad baik dalam mewujudkan visi-misi Kota Bogor dengan melaksanakan program-program yang efektif dalam mengentaskan segenap problematika sesuai saran dan rekomendasi yang telah dirumuskan DPRD Kota. Walikota dan seluruh jajarannya harus mulai fokus pada pengentasan masalah bukan hanya janji dan manuver politik belaka.

CP: Eka Febrial
(Koordinator BEM Se-Bogor) 08170767641

LKPJ Kota Bogor 2007 = Rapor Merah Pemkot Bogor

Pers Release
BEM Se-Bogor
LKPJ Kota Bogor 2007 = Rapor Merah Pemkot Bogor

Mengamati Kota Bogor semakin hari semakin mengecewakan hati. Visi Kota Bogor sebagai “Kota Jasa Yang Nyaman Dengan Masyarakat Madani Dan Pemerintahan Amanah” seolah-olah menjadi slogan belaka. Pernyataan ini nampak sangat riil ketika melihat rapor Pemkot Bogor yang disajikan dalam LKPj ( Laporan Kerja Pertanggungjawaban) Pemkot Bogor tahun 2007.
Empat permasalahan prioritas Kota Bogor –Kemiskinan, Kebersihan, Transportasi, dan PKL –sampai saat ini belum dapat diselesaikan dengan baik oleh pemerintah. Contohnya penanganan P2KP (Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan) yang dianggarkan sebesar 16 M ternyata tidak mampu dimanfaatkan secara optimal untuk pemberdayaan Maskin disebabkan kemacetan anggaran hingga 92,3 %. Hal ini sangat ironis, mengingat angka kemiskinan cenderung meningkat dari tahun 2006 sebesar 1.080 KK. Melihat kondisi ini, pemerintah seharusnya bersikap lebih serius dalam menangani pengentasan kemiskinan di daerahnya.
Senada dengan permasalahan kemiskinan, masalah transportasi tampak seperti masalah klasik yang tiada ujung penyelesaiannya. Menurut Anggota Pansus LKPj 2007, Fauzi Sutopo, tingkat kemacetan Kota Bogor mencapai 93,76 persen, berbeda dengan data yang disampaikan pemkot sebesar 46,82 persen. Menurutnya, Pemkot lalai dalam penyampaian data tersebut. Tingginya angka kemacetan diperburuk dengan dukungan infrastruktur yang belum memadai, seperti jalan yang rusak, rambu-rambu lalin yang tidak lagi berfungsi, dan masalah lain seperti pembatasan jumlah angkot yang belum berjalan efektif.
Dalam hal kebersihan, Walikota Bogor sendiri mengatakan bahwa pemerintah belum mampu mengelola permasalahan kebersihan kota. Kota Bogor menghasilkan volume sampah sebesar 2.210 m3/hari, melebihi kemampuan penanganan pemerintah yang hanya sebesar 1.515 m3/hari. Padahal menurut Kepala Kadin Kota Bogor, Radjab Tampubolon, semestinya pemerintah mampu melibatkan pihak lain untuk menangani masalah kebersihan ini.
Selain itu, masalah PKL menurut Taufik Khusnun, Ketua Pansus LKPj 2007, menjadi salah satu pembahasan menarik dalam LKPj. Sebab, energi yang telah dikeluarkan tidak seimbang dengan output-nya. Dewan menilai penanganan PKL kurang baik, khususnya terkait penanganan lokasi-lokasi yang telah dibebaskan. Pada permasalahan ini juga terlihat jelas kurangnya koordinasi antara pemerintah kota dengan dinas terkait; dimana dinas-dinas ini belum memahami apa yang diinstruksikan oleh Walikotanya.
Masalah lain yang menjadi nilai merah bagi LKPj Pemkot 2007 adalah masalah perizinan. Adanya sekitar 630 izin yang telah dikeluarkan Pemkot sepanjang 2007 tidak disertai oleh persentase kesesuaiannya dengan Kedalaman Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK). Sebagai kota jasa yang mengedepankan kenyamanan, perizinan yang dikelola pemerintah saat ini justru bertentangan dengan konsep tersebut. Pemerintah dalam mengawasi perizinan ini seharusnya berpedoman pada Kedalaman RDTRK, bukan hanya melirik devisa besar yang dihasilkan semata. Jika hal ini dibiarkan berlanjut, artinya pemerintah Kota Bogor telah membiarkan Bogor menjadi kota yang tak tertata, kumuh, dan jauh dari nyaman; meski berlimpah uang.
Berdasarkan gambaran LKPj 2007 diatas, dapat dilihat bahwa pemerintah saat ini belum mampu menorehkan prestasi yang memuaskan dalam mengentaskan permasalahan di daerahnya. Bahkan LKPj Kota 2007 ini lebih seperti rapor merah bagi pemerintah sendiri. Sehingga kami, BEM Se-Bogor mendesak pemerintah, pada akhir kepengurusannya, untuk lebih serius dalam malaksanakan tugas, khususnya:
1. Penegasan dan perapian koordinasi antara Pemerintah kota dengan segenap jajaran dinasnya
2. Penindaklanjutan rekomendasi DPRD Kota secara serius demi percepatan penyelesaian masalah rakyat

Katakan hitam adalah hitam. Katakan putih adalah putih. Tiada kata jera dalam perjuangan. Hidup Mahasiswa!!
CP: Eka Febrial (Koordinator BEM Se-Bogor) 08170767641

Kemiskinan dan Pengangguran di Kota Bogor

Pers Release
Kemiskinan dan Pengangguran di Kota Bogor :
Menyambut Kunjungan Presiden SBY di Rancamaya, Bogor
Oleh : Eka Febrial*

Tingkat kemiskinan di Kota Bogor pada pertengahan tahun 2006 sudah mencapai 160.000 jiwa (Wakil ketua komisi D DPRD Kota Bogor, Mulyana). Jumlah itu mengalami kenaikan 40 % dibanding tahun 2004/2005 sebesar 67.000 jiwa. Angka ini sangat signifikan dan menjadi sinyal bahwa kota Bogor yang merupakan penyangga ibu kota Jakarta, saat ini dihuni oleh banyak warga miskin. Belum lagi saat ini warga-warga miskin yang ada kembali diresahkan dengan meningkatnya harga bahan-bahan pokok.
Angka kemiskinan di Kota Bogor setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2002 tercatat 20 ribu KK, menurun jumlahnya tahun 2003 menjadi 17.957 KK, artinya, turun kurang lebih 5 %, namun pada saat 2004 sampai 2006 terus merangkak naik jumlahnya dan sekarang tercatat jumlahnya 41.398 KK.Sementara itu persentase pengangguran Kota Bogor pun turut meningkat tiap tahunnya. Pada tahun 2004 mencapai 14,67 %, pada tahun 2005 meningkat menjadi 16.35 %, dan pada tahun 2006 sebesar 18.5 %.
Melihat data ini, sudah seharusnya pemerintah pusat pun ikut bercermin, bahwa program pemberdayaan masyarakat yang ada saat ini, baik pusat maupun daerah, belum terlihat secara nyata mampu menekan angka kemiskinan dan pengangguran. Kami khawatir adanya anggaran yang cukup besar dalam pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan ini tidak sampai pada sasarannya akibat ketidakseriusan pihak pemerintah dalam menjalankan programnya, atau bahkan malah dinodai oleh adanya praktek KKN oleh oknum-oknum birokrat yang terlibat di dalamnya.
Untuk itu, pagi tadi (Rabu, 5 Maret 2008) di lokasi peninjauan SBY (Desa Genteng, Rancamaya, Bogor), perwakilan mahasiswa BEM Se-Bogor: IPB bersama kawan-kawan STTIF dan STIE Pandu Madania yang berjumlah total 25 orang, bergerak bersama puluhan warga desa untuk menyuarakan aspirasi rakyat Indonesia:
1. Menuntut SBY untuk menuntaskan kemiskinan dan pengangguran, terutama di Kota Bogor
2. Menuntut SBY untuk menangani secara serius program-program pemberdayaan masyarakat di daerah-daerah.
3. Menindak tegas oknum-oknum yang melakukan pungutan liar terhadap dana pemberdayaan masyarakat.
4. Mendesak SBY untuk menurunkan harga bahan-bahan pokok, yang telah meresahkan masyarakat
5. Mendesak SBY untuk memberantas kasus korupsi, penyebab kemiskinan struktural

Kami sangat berharap, di penghujung pemerintahannya, SBY dapat menyelesaikan permasalahan rakyat, bukan malah menambah-nambah penderitaanya. Bagi kami, meskipun harus dengan jalan demonstrasi, berjuang dan berkontribusi bagi rakyat adalah harga mati. Jalan perjuangan ini sangat panjang. Belum saatnya Indonesia memetik hasil, mari bersama-sama bekerja keras mewujudkan Indonesia yang lebih baik dan bermartabat. Tiada kata jera dalam perjuangan. Hidup mahasiswa!!


CP: Eka Febrial (08170767641)
*Koordinator BEM Se-Bogor