Powered By Blogger

Senin, 28 Juli 2008

Opini Pilkada Kabupaten

Jalan Baru Menggugat Kepemimpinan Baru

Oleh: Eka Febrial*

Kancah perpolitikan menjelang Pemilihan Bupati Bogor 2008-2013 semakin ramai dan hangat. Jutaan bahkan miliaran rupiah sedia dikorbankan demi memuaskan hasrat aktualisasi demokrasi yang dulu terpasung puluhan tahun lamanya. Pilkada, bagi sebagian masyarakat, seakan menjadi mimpi baru untuk mewujudkan transformasi total, bahkan kalau perlu revolusioner. Akan tetapi, bagi sebagian yang lain, Pilkada tak lebih dari ajang obral-mengobral janji palsu para elit politik yang memanfaatkan keluguan masyarakat dengan iming-iming janji, atau (bila perlu) dengan sogokan katabelece lain. Bahkan, yang ekstrem pesimistis memandang Pilkada dengan sebelah mata; hanya pesta pora yang menghamburkan uang di tengah kemiskinan dan penderitaan rakyat semata.

Antara Pilgub dan Pilbup: Siapa berikutnya?

Fenomena Pilkada yang baru saja berlangsung di Jawa Barat dapat menjadi objek studi yang relevan bagi respon masyarakat Jawa Barat terhadap pesta demokrasi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Konstelasi politik yang berlaku di Jawa Barat memperlihatkan kekhasan bahwa pemenang Pilkada tidak lagi dapat mengacu pada hasil Pemilu 2004, –yakni pada jumlah perolehan suara Partai Politik yang mengusung calon gubernur dan wakilnya –akan tetapi lebih mengacu pada figuritas calon yang berlaga. Kemenangan yang diperoleh pasangan Hade dengan dukungan partai menengah (PKS dan PAN), dibandingkan dua calon lain yang didukung partai besar seperti Aman (PDI-P, PPP, PKB) dan Da’i (Golkar, Demokrat), menjadi bukti bahwa background partai besar tidak dapat dijadikan acuan mutlak untuk memprediksi kemenangan seorang calon dalam Pilkada.

Ada beberapa fenomena menarik yang layak untuk kita cermati dalam Pilgub Jabar 2008. Pertama, fenomena kekalahan pemain lama yang direpresentasikan khususnya oleh pasangan Da’I; dan kedua, besarnya angka Golput yang bahkan melebihi angka pemenang Pilkada itu sendiri.

Fenomena pertama dapat kita cermati dengan menggunakan pola pikir (school of tought) “love to hate relationship”. Analisis ini menjelaskan bahwa pada awal kepemimpinannya, terbangun suatu hubungan kepercayaan dan harapan besar dari masyarakat kepada sang pemimpin untuk bisa memberikan kesejahteraan bagi mereka. Pola hubungan ini kemudian perlahan berubah menjadi suatu kebencian, ketika masyarakat melihat bahwa harapannya dikhianati berkali-kali oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat, bahkan menjelma layaknya penjajahan baru (neocolonialism) yang mengeruk hak-hak rakyat demi kepentingan pribadi dan golongannya. Perilaku traumatik inilah yang kemudian memunculkan opini di masyarakat pada Pilgub 2008: “asal bukan dia”.

Fenomena lain yang perlu dicermati adalah tingginya jumlah suara golput yang mencapai 35% dari total pemilih. Rendahnya tingkat partisipasi politik ini, menurut analis psikologi kebijakan publik Universitas Indonesia, Dr.Hamdi Muluk, merupakan ekspresi dari kondisi deprivasi (ketidakpuasan) yang nyaris absolut akibat dikhianatinya konsepsi Republik Indonesia, yakni penghidupan masyarakat. Republik, yang berarti kembali ke publik (masyarakat umum), semestinya diejawantahkan dengan penghidupan masyarakat umum melalui seluruh sektor kehidupan. Ketika konsepsi ini dilanggar maka konsekuensinya adalah deprivasi dengan setidaknya dua ekspresi: mosi tidak percaya atau gerakan perubahan.

Dalam konteks Pilgub Jabar 2008, ekspresi ini diperlihatkan dengan dua gejala umum, yakni tingginya persentase pemilih Golput dan kekalahan pemain lama. Banyaknya pemilih Golput merupakan ekspresi ketidakpercayaan absolut yang berujung pada pesimisme (tidak yakin dan tidak mau melakukan perubahan). Sementara konteks terpilihnya pendatang baru yang mengalahkan inchumbent merupakan klimaks deprivasi yang diekspresikan lebih positif melalui semangat untuk perubahan.

Menarik fenomena diatas ke dalam konteks Pilkada Kabupaten Bogor, ada beberapa kesamaan karakter dari kedua Pilkada ini, yakni adanya persaingan antara pemain lama dan pemain baru, serta ancaman tingginya angka Golput akibat ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah Kabupaten Bogor saat ini. Para pemain lama dapat kita lihat dari munculnya para anggota dewan yang bersaing dalam kancah pesta rakyat ini, diantaranya pasangan Rahman, Djurus, dan Nu Sae. Sementara beberapa pendatang baru direpresentasikan oleh pasangan Sae dan Annur. Perbedaannya, para pemain lama dalam konteks disini menjabat sebagai legislatif, bukan eksekutif. Mereka tidak langsung berperan sebagai pengambil kebijakan, meskipun peran serta mereka tidak dapat dinafikan. Memang masih ada anggota dewan yang betul-betul berjuang demi terpenuhinya aspirasi masyarakat, namun tidak sedikit dari mereka yang justru tidak prorakyat, akan tetapi propemerintah, propartai, dan pro-pro lain yang mengkhianati amanat rakyatnya. Sehingga, disini masyarakat perlu lebih teliti melihat profil para calon melalui jejak-rekamnya selama menjabat sebagai anggota dewan.

Kesamaan karakter kedua muncul dari realita bahwa sesungguhnya masyarakat sudah bosan dengan penderitaan dan pengkhianatan serta mendambakan munculnya sosok perubahan yang dapat dipercaya untuk menghidupkan kembali konsepsi republik di Kabupaten Bogor secara utuh. Kemungkinannya, masyarakat bisa jadi sudah terlanjur kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah sehingga mengakibatkan besarnya potensi angka golput; atau terpilihnya sosok baru yang mewakili idealisme dan harapan mereka. Lebih menarik lagi, dalam Pilbup Bogor ini, muncul calon perseorangan yang menafikan dukungan partai politik. Calon perseorangan ini bisa jadi alternatif yang potensial dalam perolehan suara karena diuntungkan oleh fenomena menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik. Segala kemungkinan masih bisa terjadi dan berubah seketika, bergantung pada respon masyarakat terhadap kampanye para calon dalam waktu dekat ini.

Jalan Lama vs Jalan Baru

Sosok pemimpin baru ibarat mobil baru yang diyakini mampu berjalan lebih gesit, progresif, sekaligus memberikan rasa aman dan harapan positif. Akan tetapi, mobil baru perlu juga diwaspadai arah geraknya; apakah sesuai dengan track-track yang ia janjikan semasa kampanye (menuju jalan baru), atau masih berkutat pada jalan lama yang menjadi cermin penistaan rakyat dan neokolonialisme. Masyarakat sudah bosan dengan perilaku elit politik tanpa prinsip yang mengobral janji dan mengelabui mereka layaknya “old wine in a new bottle”: kemasannya berubah, pernak-pernik berganti dengan janji yang lebih bergairah; namun isinya, kelakuannya, sama saja: busuk!

Meretas jalan baru memang tak semudah menempuh jalan tol. Meretas jalan baru artinya secara totalitas meninggalkan jalan lama dan membuat jalan baru di lahan yang baru: mencerabuti ilalang-ilalang nilai lama yang menghalangi perubahan secara tuntas hingga ke akarnya; mengukur dan mendesain dengan cermat rancangan demi rancangan jalan hingga tujuan akhir; menciptakan jalan itu sebagai sebuah sistem dan tatanan yang utuh; dan akhirnya melintasi jalan baru itu hingga mencapai tujuan akhirnya: kesejahteraan bersama.

Kemungkinan arah pemimpin baru untuk menjadi “old wine in a new bottle” atau “mobil baru di jalan yang baru” sama besarnya. Sebagai masyarakat yang menginginkan kembali penghidupan rakyat, dalam momen Pilkada ini, sudah saatnyalah kita bangkit menggugat para calon pemimpin baru untuk meninggalkan jalan lama dan bersama-sama meretas jalan yang baru. Masa-masa kampanye sesaat lagi, diharapkan dapat menjadi ajang bagi masyarakat untuk dapat menyeleksi secara teliti, manakah diantara mereka yang betul-betul akan membangun jalan baru. Peran semua elemen, baik KPUD, Panwaslu, masyarakat, mahasiswa, maupun media massa sangat diperlukan demi terwujudnya tujuan dan cita-cita Pilbup Bogor: menghasilkan pemimpin baru dengan visi yang jernih dan brilian serta misi yang cermat dan strategis untuk membangun Kabupaten Bogor.

* Koordinator BEM Se-Bogor, Menteri Kajian Strategis Daerah BEM KM IPB, Anggota National Election Institute (NEI) LSM dan Tim Penilai Independen Pemilihan Umum

1 komentar:

National Election Institute (NEI) mengatakan...

Get Ready for The Election of 2009