Powered By Blogger

Sabtu, 25 Oktober 2008

Qick Count Pilwalkot : Inchumbent Menang!

Hasil QuickCount Tim Pemantau Independen BEM Se-Bogor menunjukkan perolehan suara masing-masing pasangan calon walikota dan wakil walikota 2009-2014 sebagai berikut:
1.Syafei-Akik 8,4%
2.Ki Gendeng -Chusairi 7,8%
3.Iis - Ahani 4,8%
4.Dody - Erik 18,9%
5.Diani - Ru'yat 60,8%

So sepertinya ga akan terjadi dua putaran pada Pilwalkot Bogor kali ini.


Penjelasan sampling:

Survey dilakukan oleh tim pengawas independen BEM Se-Bogor pada 30 Kelurahan dari total 68 kelurahan di Kota Bogor dengan metode Systematic sampling.

Senin, 20 Oktober 2008

Pilwalkot: Meretas Harapan Baru Kota Bogor

Pilwalkot: Meretas Harapan Baru Kota Bogor
Eka Febrial (Koordinator BEM Se-Bogor)
Geliat perpolitikan menjelang Pemilihan Walikota Bogor 25 Oktober nanti semakin ramai dan hangat. Jutaan bahkan miliaran rupiah sedia dikorbankan demi memuaskan hasrat aktualisasi demokrasi yang dulu terpasung puluhan tahun lamanya. Pilkada, bagi sebagian masyarakat, seakan menjadi mimpi baru untuk mewujudkan transformasi total, bahkan kalau perlu revolusioner. Akan tetapi, bagi sebagian yang lain, Pilkada tak lebih dari ajang obral-mengobral janji palsu para elit politik yang memanfaatkan keluguan masyarakat dengan iming-iming janji, atau (bila perlu) dengan sogokan katabelece lain. Bahkan, yang ekstrem pesimistis memandang Pilkada dengan sebelah mata; hanya pesta pora yang menghamburkan uang di tengah kemiskinan dan penderitaan rakyat semata.
Antara Pilgub dan Pilwalkot: Siapa berikutnya?
Fenomena Pilkada yang beberapa bulan silam berlangsung di Jawa Barat dapat menjadi objek studi yang relevan bagi respon masyarakat Jawa Barat terhadap pesta demokrasi ini. Konstelasi politik yang berlaku di Jawa Barat memperlihatkan kekhasan bahwa pemenang Pilkada tidak hanya mengacu pada hasil Pemilu 2004, –yakni pada jumlah perolehan suara dan kekuatan Partai Politik yang mengusung calon gubernur dan wakilnya –akan tetapi lebih mengacu pada figuritas calon yang berlaga. Kemenangan yang diperoleh pasangan Hade dengan dukungan partai menengah (PKS dan PAN), dibandingkan dua calon lain yang didukung partai besar seperti Aman (PDI-P, PPP, PKB) dan Da’i (Golkar, Demokrat), menjadi bukti bahwa background partai besar tidak selalu menghasilkan kemenangan calon dalam Pilkada.
Beberapa fenomena menarik yang layak untuk kita cermati dalam Pilgub Jabar antara lain kekalahan pemain lama (Da’I) dan besarnya angka Golput yang bahkan melebihi angka pemenang Pilkada itu sendiri. Kekalahan pemain lama disebabkan oleh adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja inchumbent. Sementara tingginya jumlah suara golput yang mencapai 35% dari total pemilih, menurut analis psikologi kebijakan publik Universitas Indonesia, Dr.Hamdi Muluk, merupakan ekspresi dari kondisi deprivasi (ketidakpuasan) yang nyaris absolut akibat dikhianatinya konsepsi Republik, yakni penghidupan masyarakat umum melalui seluruh sektor kehidupan. Ketika konsepsi ini dilanggar maka konsekuensinya adalah deprivasi.
Dalam konteks Pilgub Jabar 2008, ekspresi ini diperlihatkan dengan dua gejala umum, yakni tingginya persentase pemilih Golput dan kekalahan pemain lama. Banyaknya pemilih Golput merupakan ekspresi ketidakpercayaan absolut yang berujung pada pesimisme (tidak yakin dan tidak mau melakukan perubahan). Sementara konteks terpilihnya pendatang baru yang mengalahkan inchumbent merupakan klimaks deprivasi yang diekspresikan lebih positif melalui semangat untuk perubahan.
Ada setidaknya dua kesamaan karakter dari Pilgub dan Pilwalkot, yakni adanya persaingan antara pemain lama dan pemain baru, serta ancaman tingginya angka Golput. Para pemain lama dapat kita lihat dari munculnya Inchumbent Walikota Diani Budiarto dengan pasangannya Ahmad Ru’yat, Incumbent Wakil Ketua DPRD Jawa Barat yang didukung banyak partai besar (Partai Golkar, PDIP, PKS, Partai Patriot, PKPI, PPDI, PSI, PBSD, dan PDK); Dody Rosadi, Incumbent Sekretaris Daerah Kota Bogor, dengan pasangannya Erik Suganda yang diusung koalisi partai menengah seperti PAN, PPP, PBB, PKB. Sementara para pemain baru ditampilkan oleh pasangan lain seperti Ki Gendeng Pamungkas – Achmad Chusaeri dan Syafei Bratasendjaya – Akik Darul Tahkik dari jalur perseorangan, dan Iin Supriatini – Ahani yang memperoleh dukungan Partai Demokrat, PKPB, PBR, dan PPNUI.
KGP Jadi Simbol Fenomena Pilwalkot
Berbeda halnya dengan Pilgub Jabar, Inchumbent pada Pilwalkot Bogor –menurut survey yang ditampilkan oleh beberapa media lokal –menunjukkan tingkat popularitas yang paling tinggi di kalangan masyarakat Bogor dibandingkan calon lainnya. Sosok Diani sebagai inchumbent memang cukup sering tampil di publik melalui kegiatan subuh keliling dan kegiatan sosial yang mendapat sorotan positif oleh media. Kekurangan inchumbent dalam kinerja yang sering disoroti beberapa elemen khususnya mahasiswa tenggelam oleh lihainya inchumbent mengemas profil di kalangan awam.
Calon terpopuler berikutnya merupakan sosok cawalkot paling fenomenal, yakni KGP (Ki Gendeng Pamungkas). KGP yang sempat akan mundur dari perhelatan akbar Pilwalkot dan menyerahkan dukungannya kepada Diani, menyatakan bahwa berdasarkan hasil ritualnya yang dilakukan di dalam area Kebun Raya Bogor, Mbah Jepra mengatakan bahwa dirinya dan pasangannya yakni Achmad Chusaeri adalah pasangan yang hampir kalah (artinya akan menang). Statemen kontroversial KGP memang sudah menjadi trademark sebagaimana tingkah laku dan kehidupan mistisnya. Bahkan pada saat tes kesehatan, KGP sempat unjuk “kebolehan” mengebalkan tubuhnya dari jarum suntik.
Banyak komentar miring dari masyarakat yang tidak rela kotanya dipimpin oleh seorang dukun yang sering melontarkan pernyataan sarkastis dan berbau SARA melalui Front Pribuminya. Akan tetapi tidak sedikit juga masyarakat yang ternyata mendukung sepak terjangya kelak untuk menjadi Walikota. Terlepas dari siapa yang akan menjadi walikota nanti, inchumbent atau pendatang baru; Independen atau diusung parpol; yang jelas masyarakat mengharapkan penghidupan yang lebih baik dan sejahtera.
Sosok pemimpin baru ibarat mobil baru yang diyakini mampu berjalan lebih gesit, progresif, sekaligus memberikan rasa aman dan harapan positif. Akan tetapi, mobil baru perlu juga diwaspadai arah geraknya; apakah sesuai dengan track-track yang ia janjikan semasa kampanye (menuju jalan baru), atau masih berkutat pada jalan lama yang menjadi cermin penistaan rakyat dan neokolonialisme. Masyarakat sudah bosan dengan perilaku elit politik tanpa prinsip yang mengobral janji dan mengelabui mereka layaknya “old wine in a new bottle”: kemasannya berubah, pernak-pernik berganti dengan janji yang bergairah; namun isinya, kelakuannya, sama saja atau bisa jadi lebih busuk!
Sebagai masyarakat yang menginginkan penghidupan rakyat, dalam momen Pilkada ini, saatnyalah kita bangkit menggugat para calon pemimpin untuk meninggalkan jalan lama dan bersama-sama meretas jalan yang baru. Masa-masa kampanye sesaat lagi, diharapkan dapat menjadi ajang bagi masyarakat untuk dapat menyeleksi secara teliti, manakah diantara mereka yang betul-betul akan membangun jalan baru. Peran semua elemen, baik KPUD, Panwaslu, masyarakat, mahasiswa, maupun media massa sangat diperlukan demi terwujudnya tujuan dan cita-cita Pilwalkot Bogor: menghasilkan pemimpin baru dengan visi yang jernih dan brilian serta misi cermat dan strategis untuk membangun Kota Bogor.

Pemantau Pilkada Indikator Kualitas Demokrasi

Pemantau Pilkada Indikator Kualitas Demokrasi
Oleh Eka Febrial
Presidium BEM Se-Bogor
Penyelesaian berbagai krisis nasional dan persoalan di daerah, membutuhkan adanya suatu pemerintahan yang memperoleh legitimasi rakyat, dipercaya, dan berwibawa. Sedangkan untuk memperoleh pemerintahan yang demikian itu, tak bisa lain harus melalui jalan Pemilu, yang dilaksanakan dengan prinsip langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber), serta jujur dan adil (jurdil). Untuk memenuhi prinsip itu, penyelenggaraan Pilkada tentu perlu dipantau oleh segenap elemen masyarakat.
Adanya pemantau independen menjadi salahsatu indikator kualitas kehidupan berdemokrasi di level daerah itu. Setidaknya ada 5 indikator suksesnya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung yang diselenggarakan di suatu daerah.
Pertama, pemilih menggunakan hak pilihnya tanpa ada paksaan dan intimidasi. Kedua, petugas Pilkada menjalankan tugasnya dengan jujur dan adil. Ketiga, adanya panitia pengawas dan pemantau independen yang mengawasi jalannya Pilkada khususnya pemungutan dan penghitungan suara. Kemudian yang keempat, masyarakat secara umum menerima hasil Pilkada. Dan kelima, laporan hasil pemantauan pemantau Pilkada yang menyatakan bahwa Pilkada daerah itu berjalan secara demokratis dan minim kecurangan.
Sejumlah organisasi pemantau Pilkada, seperti LSM, kelompok mahasiswa, Forum Rektor, dan sebagainya, menjadi kepanjangan tangan rakyat dalam memantau pelaksanaan Pilkada. Namun, apakah organisasi-organisasi tersebut mampu memantau seluruh proses Pilkada di berbagai daerah, dan mengkoordinasikan kerja pemantauan –yang melibatkan banyak relawan– itu dalam waktu yang singkat?
Jawabnya, tentu mengandalkan kapasitas organisasi-organisasi itu saja masih belum memadai. Dalam hal ini, jurnalis dengan media massanya menjadi unsur pendukung, serta merupakan mata, telinga, dan mulut rakyat. Media massa memantau pelaksanaan Pilkada, dalam seluruh tahapan prosesnya, dan menyiarkan atau memberitakan hasil pantauannya, sehingga diketahui rakyat. Bahkan hasil pantauan organisasi pemantau Pilkada pun butuh media massa untuk bisa diketahui rakyat.
Titik Kritis Pilkada
Dalam proses penyelenggaraan Pilkada, selalu ada pelanggaran yang dilakukan oleh para peserta, bahkan penyelenggara. Peranan pemantau independen adalah mengawasi dan melaporkan adanya kecurangan-kecurangan dengan bekerjasama dengan Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Ada beberapa titik kritis yang sering menjadi celah perbuatan curang oleh oknum peserta maupun penyelenggara Pilkada. Titik kritis ini secara kasar dapat dibagi dalam dua tahapan. Tahap I, sebelum pemberian suara: Ini mencakup ke masa pendaftaran pemilih, pendaftaran dan verifikasi kandidat, persiapan menjelang kampanye dan pelaksanaan selama kampanye.Tahap II, pemberian suara dan perhitungan suara.
Titik kritis tahap I dapat meliputi pemalsuan data dalam pendaftaran kandidat; anggota panitia pemilu ikut berkampanye; intimidasi terhadap pendukung kandidat lain; pengrusakan atribut kampanye kandidat lain; money politics; birokrasi memobilisasi massa dengan menggunakan kewenangan birokratis yang dimilikinya; gangguan/sabotase atas jalannya kampanye secara umum. Selain itu kecurangan juga dapat meliputi manipulasi informasi kampanye dengan menggunakan kebohongan sebagai alat; kampanye tidak pada waktunya (sebelum/sesudah waktu yang ditentukan); pelanggaran materi kampanye; pelanggaran cara penggalangan dan penggunaan dana kampanye.
Pada Tahap II, titik kritis terletak pada hal-hal semacam pembukaan dan penutupan tempat pemungutan suara (TPS) tidak tepat waktu; kotak suara tidak kosong saat dimulainya pemungutan suara; multi vote (satu orang memasukkan lebih dari satu suara); pencoblosan perwakilan dan atau kolektif; intimidasi terhadap pemilih untuk memilih kandidat tertentu; intimidasi/kekerasan/penghalangan tugas terhadap saksi dari kandidat/parpol; manipulasi kertas suara atau tinta penanda (indelible ink); netralitas lokasi TPS; proses penghitungan tertutup bagi saksi parpol, kandidat, atau masyarakat, mulai dari tingkat TPS,hingga Kota.
Titik kritis lainnya bisa dilihat dari fenomena perusakan kertas suara (di tingkat TPS); penggelembungan perolehan suara; pengabaian panitia atas keberatan yang diajukan saksi/masyarakat; tidak diberitakannya berita acara dan sertifikat hasil perhitungan suara; manipulasi hasil perhitungan suara dengan program computer; pelaporan dan pencatatan rekapitalisasi hasil Pilkada yang tidak jujur; penolakan atas hasil Pilkada yang telah dikonfirmasikan/dikuatkan oleh hasil pemantauan-pemantauan independen (tidak ikhlas untuk kalah), dan banyak lagi kecurangan lainnya.
Pemuda dan Pilkada
Genderang Pemilihan Kepala Daerah Kota Bogor secara langsung sudah bertalu-talu. Momen strategis ini mengundang banyak sorotan masyarakat, termasuk kalangan mahasiswa sebagai agent of change, yang ingin mengawal prosesnya agar dapat berjalan sesuai dengan harapan masyarakat, yakni jujur dan adil. Untuk itu, sebagai bentuk kepedulian mahasiswa dalam menyikapi moment Pilkada ini, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Bogor membentuk tim pemantau independen Pilkada, dan mendaftarkan diri ke KPU Kota Bogor secara resmi. Selain itu, BEM Se-Bogor juga akan menggelar mimbar akademis against blind vote bagi pemilih pemula dari kalangan siswa SMA dan mahasiswa dari Perguruan Tinggi di Kota Bogor, sosialisasi melalui media leaflet, stiker, dll, serta aksi simpatik, dan sharing program kerja dengan para calon pasangan.
Meskipun banyak menimbulkan pro kontra di kalangan mahasiswanya sendiri, dengan alasan bahwa program-program ini sarat dengan kepentingan elit politik yang sedang bertarung memperebutkan kursi gubernur Jakarta dalam menjaring suara di dalam kampus, namun BEM Se-Bogor akan menjamin bahwa program-program tersebut akan sesuai dengan koridor akademis dan bebas dari kepentingan politik pragmatis. Dalam sebuah sistem demokrasi, adalah suatu hal yang wajar bila masyarakat bisa ikut serta dalam pengambilan keputusan. Begitu pun dengan mahasiswa di kampus dimana posisi kampus sebagi pusat diseminasi peradaban, pluralitas, dan pusat pengkajian berbagai ilmu (center of excellence) demi kemaslahatan bersama. Mahasiswa punya kesempatan untuk melakukan partisipasi.

Landasan Flilosofis dan Urgensi Pilkada

Pancasila sebagai landasan falsafah bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya bangsa Indonesia. Prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam Pancasila bersumber pada budaya dan pengaslaman bangsa Indonesia, yang berkembang dari upaya bangsa dalam mencari jawaban atas persoalan-persoalan yang esensial yang menyangkut makna atas hakikat suatu yang menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia.

Sila keempat dari Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, mengandung makna bahwa kekuasaan yang tertinggi berada di tangan rakyat. Karena itu kerakyatan disebut juga kedaulatan rakyat, artinya rakyat yang berkuasa dan menentukan, atau diistilahkan dengan demokrasi, yang berarti rakyat yang memerintah atau pemerintahan dengan mengikutsertakan rakyat.

Dalam suatu negara yang demokratis, yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat perlu adanya mekanisme pergantian kepemimpinan yang dilakukan secara periodik. Oleh karenanya, perlu ada sarana dimana rakyat dapat turut serta menentukan nasib dan masa depannya sendiri dengan cara memilih wakil-wakil mereka yang akan duduk di dalam pemerintahan (legislatif maupun eksekutif) yang akan memperjuangkan keinginan, aspirasi, dan kepentingan rakyat.

Pemilihan umum (pemilu) merupakan sarana di mana rakyat dapat menentukan pilihan politiknya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Pemilu adalah cara demokratis untuk membentuk pemerintahan perwakilan juga merupakan sarana dalam menentukan wakil-wakilnya yang diberikan mandat untuk menjalankan pemerintahan.

Pemilu adalah cermin kedaulatan rakyat, karena dengannya rakyat dapat menilai, mengevaluasi, dan menentukan wakil-wakil rakyat yang dianggap mampu untuk mengemban kekuasaan legislatif maupun eksekutif yang akan membimbing masyarakat kepada masa depan yang lebih baik. Pergantian kepemimpinan melalui Pemilu diharapkan dapat memunculkan partisipasi politik masyarakat yang tinggi dan kritis serta penguatan kedaulatan rakyat. Berdasarkan UU No.22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan Pemilu, pada level pemerintahan tingkat II, Kotamadya atau Kabupaten, Pemilu ini disebut dengan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau dikenal sebagai Pilkada.

Pilkada tingkat kotamadya sebagaimana yang sedang berlangsung di Kota Bogor memiliki peranan yang sangat strategis dan signifikan. Sebab setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (baik atau buruk) dapat dirasakan langsung oleh masyarakatnya. Sehingga peranan masyarakat untuk dapat mengevaluasi, menilai, dan memilih siapa yang akan memimpinnya selama 5 tahun ke depan juga menjadi sangat penting. Keengganan dalam menggunakan hak politik dalam Pilkada ini (golput) berarti tidak memperdulikan nasib daerahnya selama 5 tahun ke depan. Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang ada bisa jadi belum seideal yang diharapkan. Akan tetapi tetap ada yang lebih baik diantaranya yang bisa kita pilih, daripada tinggal diam dan membiarkan calon terburuk yang memenangkan Pilkada dan menjadi kepala daerah kita selama 5 tahun ke depan.

Eka Febrial (Presidium BEM Se-Bogor)

Politik Uang

Praktik Money Politic merupakan salahsatu tindak pelanggaran yang sering menodai kesucian proses Pilkada. Politik uang atau money politic telah mendorong sebagian masyarakat, umumnya kalangan menengah ke bawah, untuk memilih calon yang lebih banyak memberikan mereka uang dan katebelece lainnya, bukan calon pemimpin yang benar-benar berkualitas. Praktik ini pula yang menjadi pemeran utama dalam pembodohan politik yang dilakukan secara sadar oleh para elit kepada masyarakat. Demi mendapatkan kekuasaan, para oknum elit politik rela berhutang dan menghabiskan miliaran rupiah untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat.
Penting untuk disadari bahwa praktek Money Politic dalam mencapai kekuasaan dalam pemerintahan akan membawa pengaruh yang kontraproduktif bagi proses-proses pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di masa yang akan datang. Bahwasanya praktek ini sangat kotor dan menimbulkan potensi korupsi sangat tinggi. Modal money politic yang sangat besar jumlahnya dapat bersumber dari para pengusaha yang memiliki berbagai kepentingan pragmatis. Ketika calon kotor ini terpilih, ia memiliki hutang modal yang sangat besar; bahkan jauh lebih besar dari gajinya selama masa mengabdi. Kondisi ini membuatnya terdesak untuk menjadi kera yang mengutili asset Negara dengan jabatan politisnya (monkey politic) bagi kepentingan pengusaha-pengusaha bejat ini. Intinya, semakin banyak seorang calon membagikan uang haram ini, maka semakin besar KORUPSI yang akan dilakukannya!
Pemberian uang (baca: money politic) dengan maksud meminta dukungan juga merupakan bentuk ketakutan calon bersangkutan dan ketidakyakinannya dalam memperoleh dukungan yang tulus dari masyarakat. Padahal calon pemimpin yang diharapkan adalah calon pemimpin yang memang telah memiliki dukungan nyata dan memperoleh legitimasi dari masyarakat. Mereka adalah warga negara yang telah banyak memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi masyarakat dalam statusnya sebagai apapun; sebagai gurukah, birokratkah, aktiviskah, pengusahakah, anggota dewankah, bahkan sebagai ketua RW hingga ketua RT sekalipun. Dengan kontribusinya mereka telah memiliki modal sosial politik sehingga masyarakat pun mengakui dan melegitimasi kelayakannya sebagai pemimpin bagi mereka dan secara otomatis akan memilihnya tanpa embel-embel apapun.
Dengan kata lain, calon yang melakukan politik uang maupun pelanggaran Pilkada lain adalah orang-orang lemah dan minder yang sangat berambisi jabatan, sehingga menghalalkan segala cara untuk memperoleh jabatan itu.