Powered By Blogger

Senin, 20 Oktober 2008

Pilwalkot: Meretas Harapan Baru Kota Bogor

Pilwalkot: Meretas Harapan Baru Kota Bogor
Eka Febrial (Koordinator BEM Se-Bogor)
Geliat perpolitikan menjelang Pemilihan Walikota Bogor 25 Oktober nanti semakin ramai dan hangat. Jutaan bahkan miliaran rupiah sedia dikorbankan demi memuaskan hasrat aktualisasi demokrasi yang dulu terpasung puluhan tahun lamanya. Pilkada, bagi sebagian masyarakat, seakan menjadi mimpi baru untuk mewujudkan transformasi total, bahkan kalau perlu revolusioner. Akan tetapi, bagi sebagian yang lain, Pilkada tak lebih dari ajang obral-mengobral janji palsu para elit politik yang memanfaatkan keluguan masyarakat dengan iming-iming janji, atau (bila perlu) dengan sogokan katabelece lain. Bahkan, yang ekstrem pesimistis memandang Pilkada dengan sebelah mata; hanya pesta pora yang menghamburkan uang di tengah kemiskinan dan penderitaan rakyat semata.
Antara Pilgub dan Pilwalkot: Siapa berikutnya?
Fenomena Pilkada yang beberapa bulan silam berlangsung di Jawa Barat dapat menjadi objek studi yang relevan bagi respon masyarakat Jawa Barat terhadap pesta demokrasi ini. Konstelasi politik yang berlaku di Jawa Barat memperlihatkan kekhasan bahwa pemenang Pilkada tidak hanya mengacu pada hasil Pemilu 2004, –yakni pada jumlah perolehan suara dan kekuatan Partai Politik yang mengusung calon gubernur dan wakilnya –akan tetapi lebih mengacu pada figuritas calon yang berlaga. Kemenangan yang diperoleh pasangan Hade dengan dukungan partai menengah (PKS dan PAN), dibandingkan dua calon lain yang didukung partai besar seperti Aman (PDI-P, PPP, PKB) dan Da’i (Golkar, Demokrat), menjadi bukti bahwa background partai besar tidak selalu menghasilkan kemenangan calon dalam Pilkada.
Beberapa fenomena menarik yang layak untuk kita cermati dalam Pilgub Jabar antara lain kekalahan pemain lama (Da’I) dan besarnya angka Golput yang bahkan melebihi angka pemenang Pilkada itu sendiri. Kekalahan pemain lama disebabkan oleh adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja inchumbent. Sementara tingginya jumlah suara golput yang mencapai 35% dari total pemilih, menurut analis psikologi kebijakan publik Universitas Indonesia, Dr.Hamdi Muluk, merupakan ekspresi dari kondisi deprivasi (ketidakpuasan) yang nyaris absolut akibat dikhianatinya konsepsi Republik, yakni penghidupan masyarakat umum melalui seluruh sektor kehidupan. Ketika konsepsi ini dilanggar maka konsekuensinya adalah deprivasi.
Dalam konteks Pilgub Jabar 2008, ekspresi ini diperlihatkan dengan dua gejala umum, yakni tingginya persentase pemilih Golput dan kekalahan pemain lama. Banyaknya pemilih Golput merupakan ekspresi ketidakpercayaan absolut yang berujung pada pesimisme (tidak yakin dan tidak mau melakukan perubahan). Sementara konteks terpilihnya pendatang baru yang mengalahkan inchumbent merupakan klimaks deprivasi yang diekspresikan lebih positif melalui semangat untuk perubahan.
Ada setidaknya dua kesamaan karakter dari Pilgub dan Pilwalkot, yakni adanya persaingan antara pemain lama dan pemain baru, serta ancaman tingginya angka Golput. Para pemain lama dapat kita lihat dari munculnya Inchumbent Walikota Diani Budiarto dengan pasangannya Ahmad Ru’yat, Incumbent Wakil Ketua DPRD Jawa Barat yang didukung banyak partai besar (Partai Golkar, PDIP, PKS, Partai Patriot, PKPI, PPDI, PSI, PBSD, dan PDK); Dody Rosadi, Incumbent Sekretaris Daerah Kota Bogor, dengan pasangannya Erik Suganda yang diusung koalisi partai menengah seperti PAN, PPP, PBB, PKB. Sementara para pemain baru ditampilkan oleh pasangan lain seperti Ki Gendeng Pamungkas – Achmad Chusaeri dan Syafei Bratasendjaya – Akik Darul Tahkik dari jalur perseorangan, dan Iin Supriatini – Ahani yang memperoleh dukungan Partai Demokrat, PKPB, PBR, dan PPNUI.
KGP Jadi Simbol Fenomena Pilwalkot
Berbeda halnya dengan Pilgub Jabar, Inchumbent pada Pilwalkot Bogor –menurut survey yang ditampilkan oleh beberapa media lokal –menunjukkan tingkat popularitas yang paling tinggi di kalangan masyarakat Bogor dibandingkan calon lainnya. Sosok Diani sebagai inchumbent memang cukup sering tampil di publik melalui kegiatan subuh keliling dan kegiatan sosial yang mendapat sorotan positif oleh media. Kekurangan inchumbent dalam kinerja yang sering disoroti beberapa elemen khususnya mahasiswa tenggelam oleh lihainya inchumbent mengemas profil di kalangan awam.
Calon terpopuler berikutnya merupakan sosok cawalkot paling fenomenal, yakni KGP (Ki Gendeng Pamungkas). KGP yang sempat akan mundur dari perhelatan akbar Pilwalkot dan menyerahkan dukungannya kepada Diani, menyatakan bahwa berdasarkan hasil ritualnya yang dilakukan di dalam area Kebun Raya Bogor, Mbah Jepra mengatakan bahwa dirinya dan pasangannya yakni Achmad Chusaeri adalah pasangan yang hampir kalah (artinya akan menang). Statemen kontroversial KGP memang sudah menjadi trademark sebagaimana tingkah laku dan kehidupan mistisnya. Bahkan pada saat tes kesehatan, KGP sempat unjuk “kebolehan” mengebalkan tubuhnya dari jarum suntik.
Banyak komentar miring dari masyarakat yang tidak rela kotanya dipimpin oleh seorang dukun yang sering melontarkan pernyataan sarkastis dan berbau SARA melalui Front Pribuminya. Akan tetapi tidak sedikit juga masyarakat yang ternyata mendukung sepak terjangya kelak untuk menjadi Walikota. Terlepas dari siapa yang akan menjadi walikota nanti, inchumbent atau pendatang baru; Independen atau diusung parpol; yang jelas masyarakat mengharapkan penghidupan yang lebih baik dan sejahtera.
Sosok pemimpin baru ibarat mobil baru yang diyakini mampu berjalan lebih gesit, progresif, sekaligus memberikan rasa aman dan harapan positif. Akan tetapi, mobil baru perlu juga diwaspadai arah geraknya; apakah sesuai dengan track-track yang ia janjikan semasa kampanye (menuju jalan baru), atau masih berkutat pada jalan lama yang menjadi cermin penistaan rakyat dan neokolonialisme. Masyarakat sudah bosan dengan perilaku elit politik tanpa prinsip yang mengobral janji dan mengelabui mereka layaknya “old wine in a new bottle”: kemasannya berubah, pernak-pernik berganti dengan janji yang bergairah; namun isinya, kelakuannya, sama saja atau bisa jadi lebih busuk!
Sebagai masyarakat yang menginginkan penghidupan rakyat, dalam momen Pilkada ini, saatnyalah kita bangkit menggugat para calon pemimpin untuk meninggalkan jalan lama dan bersama-sama meretas jalan yang baru. Masa-masa kampanye sesaat lagi, diharapkan dapat menjadi ajang bagi masyarakat untuk dapat menyeleksi secara teliti, manakah diantara mereka yang betul-betul akan membangun jalan baru. Peran semua elemen, baik KPUD, Panwaslu, masyarakat, mahasiswa, maupun media massa sangat diperlukan demi terwujudnya tujuan dan cita-cita Pilwalkot Bogor: menghasilkan pemimpin baru dengan visi yang jernih dan brilian serta misi cermat dan strategis untuk membangun Kota Bogor.

Tidak ada komentar: