Powered By Blogger

Selasa, 09 Maret 2010

Mahasiswa Tanggap Bencana (MAHAGANA) BEM se Bogor: Semakin Mendekat ke Masyarakat

Kontroversi “tingkah” mahasiswa kembali terjadi. Kejadian ini berawal dari penyerangan oknum polisi yang berakibat dengan adanya bentrokan antara mahasiswa dengan polisi dan masyarakat sekitar. Sampai saat ini ketegangan yang terjadi di Makasar tersebut belum juga reda. Banyak penafsiran yang berkembang, mulai dari adanya dendam pribadi oknum polisi yang melakukan penyerangan, sampai dengan dugaan adanya usaha provokatif dari pihak yang tidak bertanggungjawab guna memperkeruh keadaan.

Terlepas dari kontroversi tersebut, Nampak sudah saatnya lah kita sebagai mahasiswa merenungi dan mengevalusi sejenak konsep pergerakan kita. Mahasiswa sebagai agent of change selayaknya dapat memaknai tujuan dari pergerakannya, yaitu terwujudnya sebuah konsep keadilan atas berlangsungnya pembangunan di Bangsa ini. Keadilan dalam konteks kebijakan atau dalam aplikasi dilapangan. Turunan dari tujuan ini adalah bagaimana mahasiswa dapat menempatkan diri sebagai kontrol sosial atas berlangsungnya pembangunan tersebut. Disini fungsi pengendalian dijalankan dengan tujuan agar setiap hal yang telah direncanakan atau dijanjikan dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Gerakan ini yang disebut dengan gerakan vertical, sebuah gerakan sebagai upaya untuk mengontrol segala kebijakan ataupun aplikasi kebijakan para pemimpin yang sedang berkuasa. Kajian, audiensi, propaganda media dan aksi jalanan bagian dari tools yang digunakan untuk mencapai tujuan ini (kontrol social,red)

Pada sisi lain, kita harus pula dapat memaknai bahwa adanya kita adalah sebagai penyambung lidah masyarakat. Kita ada karena jerit tangis rakyat atas ketidakadilan para pejabat. Kita adalah corong masyarakat. Dalam hal ini, kedekatan kita kepada masyarakat menjadi salah satu tolak ukur mendasar atas esensi adanya kita. Inilah gerakan yang kita pahami sebagai gerakan horizontal mahasiswa. Gerakan ini menjadi bagian yang tidak boleh terlupakan. Selain menjadi kaum “langitan”, mahasiswa juga harus dapat membuktikan bahwa adanya mereka dapat memberikan solusi dan kontribusi nyata atas permasalahan yang ada dalam masyarakat. Masyarakat yang notabenenya adalah kaum yang “tidak tau apa-apa”, yang terpikir oleh mereka hanya bagaimana dapat makan dengan harga yang murah, dapat tidur nyenyak dengan rumah sewajarnya, dan sekolah untuk sekedar mencari kerja. Mereka tidak peduli dengan sepak terjang baik buruknya penguasa. Maka hal yang sangat wajar apabila ditengah diktatorisme Presiden Soeharto, masih banyak masyarakat yang mengaguminya, kerena pada masa pemerintahannya masyarakat merasakan segala sesuatunya menjadi sangat murah dan mudah.

Gerakan horizontal dan gerakan vertical bukanlah 2 gerakan yang terpisah. Dua gerakan ini akan sangat mempengaruhi efektifitas dan efisiensi masing-masing. Semakin dekat kita dengan masyarakat, akan semakin mudah masyarakat menerima pencerdasan atas isu atau permasalahan yang kita bawa. Disaat masyarakat sudah dapat “dicerdaskan” dengan baik, tinggallah menunggu waktu akan adanya people power yang akan lebih dahsyat dari kekuatan penguasa manapun.

Berdasarkan atas pemahaman di atas, BEM se Bogor mencoba untuk mengembangkan sayap-sayap sosial yang akan langsung terjun kemasyarakat guna menjadi solusi konkrit atas berbagai permasalahan yang terjadi, salah satunya adalah penanggulangan akibat bencana alam. Belum lama ini, tepatnya tanggal 5 maret 2010 BEM seBogor sepakat membuat sayap sosial yang dinamakan Mahagana (Mahasiswa Tanggap Bencana). Mahagana ini akan bekerja sebagai organ BEM se Bogor yang akan selalu tanggap terhadap bencana alam yang menimpa masyarakat. Bukan sekedar penanggulangan, tapi juga dengan melakukan kegiatan-kegiatan dalam usaha mencegah bencana alam tersebut. Sudah saatnya lah kita dapat membangun sebuah konsep pergerakan berbasis dan bergerak bersama masyarakat.

...Yang kami harapkan adalah terbentuknya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat (Idealisme PPSMDS NF)

Hendra Etri Gunawan
Kordinator BEM se-Bogor,
Trainer dan Fasilitator Rumah Peradaban Leadership Learning Center.
CP.085692610262; etrigunawanhendra@yahoo.com
www.geraksatria.wordpress.com; www.bemsebogor.blogspot.com

Sabtu, 06 Maret 2010

Pansus Transportasi: Secercah Harapan guna Menguarai Masalah Kemacetan di Kota Bogor

Selama masa sidang pertama 2010 (Januari-April,red), Badan Musyawarah (Bamus) DPRD Kota Bogor menargetkan akan menyelesaikan minimal 7 perda terkait dengan permasalahan krusial di Kota Bogor. Salah satunya adalah masalah kemacetan yang seringkali menjadi pembicaraan harian masyarakat Kota Bogor dan sekitarnya. Sebelum disetujui oleh Bamus DPRD Kota Bogor, pembentukan pansus ini menimbulkan pro-kontra ditengah masyarakat. Terjadinya pro kontra diakibatkan dari kesalahpahaman tentang tujuan dan ruang lingkup pansus yang awalnya akan diberi nama pansus angkot ini. Masyarakat menilai permasalahan kemacetan di Kota Bogor bukan hanya faktor keberadaan angkot, tapi teradapat faktor-faktor lain yang harus diselesaikan pula. Namun setelah terjadi diskusi-diskusi panjang, akhirnya disetujui bersama pembentukan pansus yang akan diberi nama pansus transportasi ini dan diresmikan pada Sidang Paripurna DPRD tanggal 15 Maret mendatang.

Terlepas dari pro-kontra pembentukannya, pansus transportasi memiliki “PR” yang cukup banyak dalam mengkaji permasalahan kemacetan di Kota Hujan ini. Kemacetan pada prinsipnya terjadi akibat tidak seimbangnya antara jumlah kendaraan yang melintas dengan tersedianya jaringan jalan. Peningkatan jumlah kendaraan tidak sebanding dengan pertumbuhan jaringan jalan yang ada. Kapasitas jalan yang ada pun, tidak dapat sepenuhnya digunakan untuk berkendara, karena ada faktor hambatan samping, yaitu kendaraan yang parkir di pinggir jalan dan beberapa pedagang kaki lima yang juga turut mengambil tempat di jalan. Hal ini membuat ruas jalan semakin sempit bagi kendaraan yang melintas. Selain itu tidak meratanya pusat kegiatan perekonomian di suatu daerah menjadi salah satu penyebab kemacetan. Tenaga kerja dan masyarakat dari berbagai daerah bergerak bersama-sama menuju daerah pusat kegiatan tersebut, sehingga pergerakan transportasi semakin banyak serta menumpuk pada daerah itu dan terjadilah kemacetan.

Ditambah lagi oleh faktor manusia itu sendiri, yaitu para pengguna kendaraan tersebut. Ketidakdisiplinan para pengguna jalan juga menjadi faktor lain yang menyebabkan terjadinya kemacetan di jalan. Sebagai contoh, kendaraan umum, seperti angkot, mikrolet, ataupun bis yang menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat. Tidak hanya dari pihak angkutan umum, tetapi penumpangnya juga kurang sadar dimana sebaiknya tempat menunggu dan menghentikan kendaraan umum. Selain itu mobil dan motor juga tidak disiplin dalam mematuhi rambu-rambu yang berlaku. Seringkali kendaraan diparkir secara sembarangan dan para pengemudi mengendarai kendaraannya dengan kurang sopan.

Sebagai Kota yang ditunjuk sebagai kota percontohan transportasi oleh Departemen Perhubungan, tidak sepatutnyalah permasalahan kemacetan masih bercongkongkol menjadi permasalahan klasik Kota ini. Permasalahan kemacetan telah menimbulkan berbagai kerugian dari pihak masyarakat sebagai pengguna jalan, baik kerugian psikis, ekonomi dan kerugian-kerugian lainnya. Tingkat kemacetan yang tinggi mengakibatkan capek, kesal dan tingginya tingkat stress masyarakat. Hal ini akan mengakibatkan mengakibatkan masalah-masalah lain dalam kehidupan bermasyarakat.

Selain itu masyarakat juga dirugikan secara ekonomi. Sebagai contoh Kemacetan di Jakarta, seperti yang disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, kerugian bagi penduduk kota Jakarta sekitar Rp 43 triliun per tahun. Data ini diperoleh dari Edo Rudyanto’s Traffic Motorcycle, Community, and Safety Riding (2007). Nilai ini mencakup kerugian akibat pemborosan bahan bakar, polusi udara yang diakibatkan oleh asap kendaraan bermotor, timbulnya penyakit fisik, psikis, dan penyakit lain seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Hal ini disebabkan para pengendara motor atau sepeda, bahkan pejalan kaki yang menghisap asap baik dari bis, mobil, dan motor. Selain itu kerugian juga mencakup waktu yang terbuang oleh setiap pengendara terhadap kegiatan ekonominya. Banyak waktu yang menjadi tidak produktif akibat kemacetan ini.

Pansus transportasi dapat menjadi secercah harapan atas permasalahan kemacetan di Kota Bogor. Semoga julukan sebagai kota 1001 angkot, sebagai gambaran parahnya kemacetan di Kota Bogor, tidak menjadi panggilan yang tetap untuk kota ini. Besar harapan masyarakat, keberadaan pansus ini dapat memberikan solusi nyata atas permasalahan yang ada. Dan semoga pula, pansus ini dbentuk bukan sebagai ajang mencari siapa yang salah baik perorang atau institusi, tapi lebih kepada bersama-sama berupaya memberikan solusi-solsusi tebaik untuk masyarakat Bogor. Badan Eksekutif Mahasiswa se-Bogor (BEM se Bogor) besama masyarakat siap mengawal perjalanan pansus transportasi ini.

Hendra Etri Gunawan
Kordinator BEM se-Bogor,
Kepala Divisi Training Rumah Peradaban Leadership Learning Center.
CP.085692610262; etrigunawanhendra@yahoo.com.

Jumat, 05 Maret 2010

Pemimpin Baru, Harapan Baru

Pemimpin Baru, Harapan Baru
Oleh: Andri Setiawan

Aliansi BEM se-Bogor menggelar acara suksesi koordinator BEM se-Bogor pada hari Minggu, 28 Februari 2010 di kampus STIE TAZKIA. Suksesi yang dibagi ke dalam dua sesi ini, yaitu evaluasi dan pemilihan koordinator baru BEM se-Bogor 2010-2011 dihadiri perwakilan setiap kampus yang tergabung dalam aliansi BEM se-Bogor.
Acara ini berformat diskusi yang dipimpin langsung oleh Eka Badrit Tamam, Koordinator BEM se-Bogor 2009-2010, dan diawali dengan evaluasi pergerakan BEM se-Bogor tahun yang lalu. Berdasarkan evaluasi, terdapat kekurangan-kekurangan BEM se-Bogor tahun lalu, terutama pada koordinasi antara anggota aliansi BEM se-Bogor. Sehingga, BEM se-Bogor tahun lalu terkesan vakum dari pergerakannya. Selain itu, BEM se-Bogor terlalu berkecimpung dalam ranah politik seakan-akan lupa pada masalah sosial yang terjadi pada Bogor Raya seperti bencana banjir bandang. Padahal aksi sosial tersebut penting untuk membantu rakyat yang tertimpa musibah dan untuk memberikan kontribusi yang nyata kepada masyarakat. Masalah lainnya adalah Kurangnya keterbukaan setiap kampus tentang permasalahn yang dihadapi.
Setelah evaluasi, acara dilanjutkan ke pemilihan koordinator baru BEM se-Bogor. Setiap kampus memilih calon untuk menjadi koordinator BEM se-Bogor. Baik dari kampusnya sendiri maupun dari kampus lain. Dari pencalonan tersebut terpilih, tiga calon koordinator BEM se-Bogor. Tiga calon tersebut adalah Hendra Etri Gunawan yang biasa dipanggil Ege dari kampus IPB, Ersya dari kampus STIE Tazkia dan Asep dari kampus STIE Tazkia juga. Namun salah satu calon dari Tazkia yaitu Asep menolak pencalonan atas dirinya. Beliau merasa tidak siap untuk menjabat koordinator BEM se-Bogor.
Dua calon yang tersisa langsung memaparkan visinya. Hendra Etri Gunawan mempunyai visi: inklusif, progresif, dan professional. Inklusif adalah pelibatan semua komponen dalam BEM se-Bogor, progresif yang berupaya untuk terus belajar dari setiap kesalahan sehingga tidak terjatuh pada lubang yang sama dan profesional. Sedangkan calon kedua yaitu Ersya, mempunyai visi untuk merevitalisasi peran dari BEM se-Bogor. Dalam pemilihan koordinator BEM se-Bogor ini menggunakan sistem musyawarah. Oleh karena itu, kedua calon yang telah memaparkan visinya langsung dipersilahkahkan untuk keluar.
Setelah kedua calon keluar, diadakan musyawarah yang sangat alot dalam mengupas kelebihan dan kekurangan kedua calon tersebut. Akhirnya, terpilihlah Hendra Etri Gunawan sebagai koordinator BEM se-Bogor yang baru.
Dengan terpilihnya Hendra Etri Gunawan sebagai koordinator baru BEM se-Bogor, semua anggota aliansi ini menaruh harapan kepada koordinator baru untuk membawa BEM se-Bogor lebih maju, lebih banyak berkontribusi nyata bagi masyarakat Bogor, dan bisa mengatasi masalah-masalah BEM se-Bogor secara internal. Semoga Berhasil. Maju Terus Pemuda Indonesia, untuk Bangsa yang lebih bermartabat.