Powered By Blogger

Kamis, 17 Juni 2010

Membumikan Gerakan Mahasiswa: Dari Kantin Kampus ke Negara

Oleh
Hendra Etri Gunawan*

Nuansa keterbukaan dan dialogis memberikan warna tersendiri dalam pembentukan sistem IPB Social Politic Center (ISPC) tahun ini. Setiap orang merasa perlu untuk memikirkan dan memberikan masukan atas sistem yang ada. Banyak evaluasi dan masukan yang masuk, guna memastikan sistem IPSC hari ini harus lebih baik dari tahun lalu.

Membumikan ISPC. Kata inilah yang menjadi PR besar perbaikan sistem pergerakan mahasiswa IPB. Pembumian yang dimaksud bukan sekedar ISPC sebagai sebuah badan pergerakan tapi lebih dari itu bagaimana membentuk budaya dan nuansa pergerakan yang dapat diterima oleh seluruh lapisan mahasiswa. Sedih rasanya, disaat ada diantara kita yang melihat sebelah mata apa yang dikerjakan oleh yang lain. “Kenapa kita harus aksi? Masih banyak cara lain untuk memberikan kontribusi ke Bangsa ini”, tukas mahasiswa itu. Mereka seakan melihat kontribusi mahasiswa yang ikut aksi adalah perbuatan yang sia-sia. Inilah gambaran nyata tentang perbedaan yang terjadi di tubuh mahasiswa itu sendiri.

Sedikit mengulas ulang tentang apa yang dimaksud gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa adalah gerakan moral dan politik nilai. Gerakan ini ada sebagai penyambung lidah antara masyarakat dan pemerintah. Tujuan gerakan mahasiswa adalah terwujudnya sebuah konsep keadilan atas berlangsungnya pembangunan di Bangsa ini. Keadilan yang dimaksud adalah dalam konteks kebijakan dan dalam aplikasi dilapangan. Turunan dari tujuan ini adalah bagaimana mahasiswa dapat menempatkan diri sebagai kontrol sosial atas berlangsungnya pembangunan tersebut. Disini fungsi pengendalian dijalankan dengan tujuan agar setiap hal yang telah direncanakan atau dijanjikan dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Gerakan ini yang disebut dengan gerakan vertical, sebuah gerakan sebagai upaya untuk mengontrol segala kebijakan ataupun aplikasi kebijakan para pemimpin yang sedang berkuasa. Kajian, audiensi, propaganda media dan aksi jalanan bagian dari tools yang digunakan untuk mencapai tujuan ini (kontrol sosial,red).

Pada sisi lain, kita harus pula dapat memaknai bahwa adanya kita karena ada masyarakat disana. Kita ada karena jerit tangis rakyat atas ketidakadilan para penguasa. Kita adalah corong masyarakat. Dalam hal ini, kedekatan kita kepada masyarakat menjadi salah satu tolak ukur mendasar atas esensi adanya kita. Inilah gerakan yang kita pahami sebagai gerakan horizontal mahasiswa. Gerakan ini menjadi bagian yang tidak boleh terlupakan. Selain menjadi kaum “langitan”, mahasiswa juga harus dapat membuktikan bahwa adanya mereka dapat memberikan solusi dan kontribusi nyata atas permasalahan yang ada dalam masyarakat. Masyarakat yang notabenenya adalah kaum yang “tidak tau apa-apa”, yang terpikir oleh mereka hanya bagaimana dapat makan dengan harga yang murah, dapat tidur nyenyak dengan rumah sewajarnya, dan sekolah untuk sekedar mencari kerja. Mereka tidak peduli dengan sepak terjang baik buruknya penguasa. Maka hal yang sangat wajar apabila ditengah diktatorisme Presiden Soeharto, masih banyak masyarakat yang mengaguminya, kerena pada masa pemerintahannya masyarakat merasakan segala sesuatunya menjadi sangat murah dan mudah.

Gerakan horizontal dan gerakan vertical bukanlah 2 gerakan yang terpisah. Dua gerakan ini akan sangat mempengaruhi efektifitas dan efisiensi masing-masing. Semakin dekat kita dengan masyarakat, akan semakin mudah masyarakat menerima pencerdasan atas isu atau permasalahan yang kita bawa. Disaat masyarakat sudah dapat “dicerdaskan” dengan baik, tinggallah menunggu waktu akan adanya people power yang akan lebih dahsyat dari kekuatan penguasa manapun.

Hanya saja pada evaluasinya gerakan mahasiswa semakin “terbang tingggi” meninggalkan masyarakat dan mahasiswa yang lain pada umumnya. Gerakan mahasiswa semakin jauh tak terjangkau dan memberikan kesan ekslusif tersendiri. Gerakan politik mahasiswa yang seharusnya adalah gerakan politik nilai, kini berubah menjadi gerakan politik praktis dan pragmatis. Idealisme menjadi kata yang tabu dalam setiap kebijakan-kebijakan yang diambil. Pantas saja jikalau gerakan mahasiswa semakin kurang mendapat tempat di hati mahasiswa umum dan masyarakat. Ini adalah PR kita bersama sebagai insan pergerakan mahasiswa. Bagaimana kita bisa kembali mengambil hati mahasiswa umum dan masyarakat serta kembali “membumikan” gerakan mahasiswa.

Mulai dengan berpikir inklusif dan membangun keterlibatan terhadap semua stackholder yang ada. Bangun titik temu dan kegiatan-kegiatan dialogis. Turun langsung ke masyarakat dan sambangi kantin-kantin kampus tempat mahasiswa umum berkumpul santai. Mulailah berbicara dengan bahasa mereka. Bukan sekedar sekali tapi lakukanlah pendekatan yang konsisten. Penulis meyakini, gerakan-gerakan besar yang ada, bukan berawal dari tingginya gedung-gedung megah atau nyamannya student center kita, tapi berawal dari pembicaraan-pembicaraan ringan di kantin-kantin kampus. Dari sanalah people power itu akan terbentuk. Disaat semua mahasiswa merasakan apa yang kita resahkan bersama. Dan karena itulah mereka bergerak. Karena mahasiswa adalah fenomena.


*Menteri Kebijakan Daerah BEM KM IPB;
Kordinator BEM se Bogor

Tidak ada komentar: