Powered By Blogger

Kamis, 17 Juni 2010

Sahabat Ksatria: Kepemimpinan yang melayani

Oleh
Hendra Etri Gunawan*

Inilah gerak kami, gerak yang didasari keinginan untuk memberi, bukan menerima karena Allah lah yang Maha Kaya.
(Potongan kalimat dari Idealisme Sahabat Ksatria)

Telah terukir dalam sejarah, disaat sahabat Umar Bin Khatab berjalan-jalan keluar singgasananya dimalam hari. Hal ini seringkali Ia lakukan guna melihat langsung kondisi rakyatnya. Hingga suatu malam Ia mendapati seorang ibu dan anaknya yang sedang menangis. Ternyata sudah beberapa hari ibu dan anak tersebut tidak merasakan nikmatnya makanan. Tanpa berpanjang pikir, Ia pun langsung menuju gudang penyimpanan bahan makanan dan mengambil sekarung gandum. Ia memanggul sekarung gandum itu sendiri tanpa mau merepotkan anak buahnya yang mungkin saat itu sudah tertidur. Sesampainya kembali di rumah si anak dan ibu, sang khalifah langsung memasakan gandum yang dibawanya agar dapat dinikmati. Sebuah nilai pelayanan yang mendalam. Umar bukan sekedar membawakan gandum dari gudang penyimpanan bahan makanan tapi juga memasakan gandum tsb hingga dapat dinikmati si ibu dan anak.

Membicarakan kepemimpinan yang melayani di negri ini memang seringkali hanya menjadi wacana. Karena pada kenyataannya, para pemimpin kita sudah terbiasa tuk menjadi pejabat formal yang selalu menuntut tuk dapat dilayani. Miris, tatkala melihat barisan mobil mewah dengan barisan pengawal yang ketat melintasi jalan-jalan umum. Kaca mobilnya tertutup dengan rapat, seakan menggambarkan sebuah ke-jijik-an melihat rakyatnya yang dahulu memilihnya.

Menjadi pemimpin yang melayani (Servant Leadership) memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Karena menjadi pemimpin bukan sekedar adanya jabatan formal. Disaat kita bersedia menjadi pemimpin, maka kitapun harus bersedia membuka seluas-luasnya hak-hak privasi kita untuk orang orang lain. Disinilah beratnya. Kita akan selalu dituntut tuk dapat memberi, kapanpun dan dimanapun, disaat punya ataupun tidak, disaat lapang taupun sempit.

Pada tulisan ini, penulis mencoba tuk memaparkan sebuah buku yang sangat menarik. Buku yang berjudul Leadership by The Book (LTB) ini ditulis oleh Dr. Kenneth Blanchard dan kawan kawan. Buku ini membahas tentang kepemimpinan yang melayani dari tiga aspek yaitu HATI yang melayani (servant HEART), KEPALA atau pikiran yang melayani (servant HEAD), dan TANGAN yang melayani (servant HANDS).

Hati Yang Melayani (Karakter Kepemimpinan)
Kepemimpinan yang melayani dimulai dari dalam diri kita. Kepemimpinan menuntut suatu transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Kepemimpinan sejati dimulai dari dalam dan kemudian bergerak ke luar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Disinilah pentingnya karakter dan integritas seorang pemimpin untuk menjadi pemimpin sejati dan diterima oleh orang-orang yang dipimpinnya. Paling tidak menurut Ken Blanchard dan kawan-kawan, ada sejumlah ciri-ciri dan nilai yang muncul dari seorang pemimpin yang memiliki hati yang melayani, yaitu:

Tujuan paling utama seorang pemimpin adalah melayani kepentingan mereka yang dipimpinnya. Orientasinya adalah bukan untuk kepentingan diri pribadi maupun golongannya tetapi justru kepentingan publik yang dipimpinnya. Seorang pemimpin sejati justru memiliki kerinduan untuk membangun dan mengembangkan mereka yang dipimpinnya sehingga tumbuh banyak pemimpin dalam kelompoknya. Hal ini sejalan dengan buku yang ditulis oleh John Maxwell berjudul Developing the Leaders Around You. Keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung dari kemampuannya untuk membangun orang-orang di sekitarnya, karena keberhasilan sebuah organisasi sangat tergantung pada potensi sumber daya manusia dalam organisasi tersebut. Jika sebuah organisasi atau masyarakat mempunyai banyak anggota dengan kualitas pemimpin, organisasi atau bangsa tersebut akan berkembang dan menjadi kuat.

Pemimpin yang melayani memiliki kasih dan perhatian kepada mereka yang dipimpinnya. Kasih itu mewujud dalam bentuk kepedulian akan kebutuhan, kepentingan, impian dan harapan dari mereka yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang memiliki hati yang melayani adalah akuntabilitas (accountable). Istilah akuntabilitas adalah berarti penuh tanggung jawab dan dapat diandalkan. Artinya seluruh perkataan, pikiran dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik atau kepada setiap anggota organisasinya.

Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau mendengar. Mau mendengar setiap kebutuhan, impian dan harapan dari mereka yang dipimpinnya. Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang dapat mengendalikan ego dan kepentingan pribadinya melebihi kepentingan publik atau mereka yang dipimpinnya. Mengendalikan ego berarti dapat mengendalikan diri ketika tekanan maupun tantangan yang dihadapi menjadi begitu berat. Seorang pemimpin sejati selalu dalam keadaan tenang, penuh pengendalian diri dan tidak mudah emosi.

Kepala Yang Melayani (Metoda Kepemimpinan)
Seorang pemimpin sejati tidak cukup hanya memiliki hati atau karakter semata, tetapi juga harus memiliki serangkaian metoda kepemimpinan agar dapat menjadi pemimpin yang efektif. Banyak sekali pemimpin memiliki kualitas dari aspek yang pertama, tetapi ketika menjadi pemimpin formal, justru tidak efektif sama sekali karena tidak memiliki metoda kepemimpinan yang baik. Contoh adalah para pemimpin karismatik ataupun pemimpin yang menjadi simbol perjuangan rakyat, seperti Corazon Aquino, Nelson Mandela, Abdurrahman Wahid, bahkan mungkin Mahatma Gandhi, dan masih banyak lagi menjadi pemimpin yang tidak efektif ketika menjabat secara formal menjadi presiden. Hal ini karena mereka tidak memiliki metoda kepemimpinan yang diperlukan untuk mengelola mereka yang dipimpinnya. Tidak banyak pemimpin yang memiliki kemampuan metoda kepemimpinan ini. Karena hal ini tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah formal. Ada tiga hal penting dalam metoda kepemimpinan, yaitu:

Kepemimpinan yang efektif dimulai dengan visi yang jelas. Visi ini merupakan sebuah daya atau kekuatan untuk melakukan perubahan, yang mendorong terjadinya proses ledakan kreatifitas yang dahsyat melalui integrasi maupun sinergi berbagai keahlian dari orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut. Bahkan dikatakan bahwa nothing motivates change more powerfully than a clear vision. Visi yang jelas dapat secara dahsyat mendorong terjadinya perubahan dalam organisasi. Seorang pemimpin adalah inspirator perubahan dan visioner, yaitu memiliki visi yang jelas kemana organisasinya akan menuju. Kepemimpinan secara sederhana adalah proses untuk membawa orang-orang atau organisasi yang dipimpinnya menuju suatu tujuan (goal) yang jelas. Tanpa visi, kepemimpinan tidak ada artinya sama sekali. Visi inilah yang mendorong sebuah organisasi untuk senantiasa tumbuh dan belajar, serta berkembang dalam mempertahankan survivalnya sehingga bisa bertahan sampai beberapa generasi.

Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang yang sangat responsive. Artinya dia selalu tanggap terhadap setiap persoalan, kebutuhan, harapan dan impian dari mereka yang dipimpinnya. Selain itu selalu aktif dan proaktif dalam mencari solusi dari setiap permasalahan ataupun tantangan yang dihadapi organisasinya. Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang pelatih atau pendamping bagi orang-orang yang dipimpinnya (performance coach). Artinya dia memiliki kemampuan untuk menginspirasi, mendorong dan memampukan anak buahnya dalam menyusun perencanaan (termasuk rencana kegiatan, target atau sasaran, rencana kebutuhan sumber daya, dan sebagainya), melakukan kegiatan sehari-hari (monitoring dan pengendalian), dan mengevaluasi kinerja dari anak buahnya.

Tangan Yang Melayani (Perilaku Kepemimpinan)
Pemimpin sejati bukan sekedar memperlihatkan karakter dan integritas, serta memiliki kemampuan dalam metoda kepemimpinan, tetapi dia harus menunjukkan perilaku maupun kebiasaan seorang pemimpin. Dalam buku Ken Blanchard tersebut disebutkan ada empat perilaku seorang pemimpin, yaitu:

Pemimpin tidak hanya sekedar memuaskan mereka yang dipimpinnya, tetapi sungguh-sungguh memiliki kerinduan senantiasa untuk mengharap ridho Allah SWT. Artinya dia hidup dalam perilaku yang sejalan dengan perintah dan larangan Nya. Dia memiliki misi untuk senantiasa mencari rahmat Allah SWT dalam setiap apa yang dipikirkan, dikatakan dan diperbuatnya.

Pemimpin sejati fokus pada hal-hal spiritual dibandingkan dengan sekedar kesuksesan duniawi. Baginya kekayaan dan kemakmuran adalah untuk dapat memberi dan beramal lebih banyak. Apapun yang dilakukan bukan untuk mendapat penghargaan, tetapi untuk melayani sesamanya. Dan dia lebih mengutamakan hubungan atau relasi yang penuh kasih dan penghargaan, dibandingkan dengan status dan kekuasaan semata. Pemimpin sejati senantiasa mau belajar dan bertumbuh dalam berbagai aspek, baik pengetahuan, kesehatan, keuangan, relasi, dan sebagainya. Setiap hari senantiasi menyelaraskan (recalibrating) dirinya terhadap komitmen untuk mencari ridho Allah SWT dan melayani sesama. Melalui solitude (keheningan), dan prayer (doa)

Demikian kepemimpinan yang melayani menurut Ken Blanchard dan kawan-kawan. Sebuah model kepemimpinan yang hari ini dirindukan negri ini. Tapi tidaklah baik, disaat kita hanya mencaci kegelapan tanpa mencoba menyalakan lilin. Perubahan demi perubahan akan kita dapati. Mencoba tuk terus belajar dan belajar guna melakukan perbaikan-perbaikan sederhana. Dimulai dari perubahan paradigma. Karena mahasiswa pada dasarnya adalah iron stock yang nantinya akan menempati berbagai posisi penting di negri ini. Jika paradigm atau pola pikir kita sudah dididik lurus, maka disaat nanti kita menjadi pemimpi-pemimpin negri, kita pun akan melakukan perilaku-perilaku yang baik pula.


*Kordinator BEM se Bogor

Membumikan Gerakan Mahasiswa: Dari Kantin Kampus ke Negara

Oleh
Hendra Etri Gunawan*

Nuansa keterbukaan dan dialogis memberikan warna tersendiri dalam pembentukan sistem IPB Social Politic Center (ISPC) tahun ini. Setiap orang merasa perlu untuk memikirkan dan memberikan masukan atas sistem yang ada. Banyak evaluasi dan masukan yang masuk, guna memastikan sistem IPSC hari ini harus lebih baik dari tahun lalu.

Membumikan ISPC. Kata inilah yang menjadi PR besar perbaikan sistem pergerakan mahasiswa IPB. Pembumian yang dimaksud bukan sekedar ISPC sebagai sebuah badan pergerakan tapi lebih dari itu bagaimana membentuk budaya dan nuansa pergerakan yang dapat diterima oleh seluruh lapisan mahasiswa. Sedih rasanya, disaat ada diantara kita yang melihat sebelah mata apa yang dikerjakan oleh yang lain. “Kenapa kita harus aksi? Masih banyak cara lain untuk memberikan kontribusi ke Bangsa ini”, tukas mahasiswa itu. Mereka seakan melihat kontribusi mahasiswa yang ikut aksi adalah perbuatan yang sia-sia. Inilah gambaran nyata tentang perbedaan yang terjadi di tubuh mahasiswa itu sendiri.

Sedikit mengulas ulang tentang apa yang dimaksud gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa adalah gerakan moral dan politik nilai. Gerakan ini ada sebagai penyambung lidah antara masyarakat dan pemerintah. Tujuan gerakan mahasiswa adalah terwujudnya sebuah konsep keadilan atas berlangsungnya pembangunan di Bangsa ini. Keadilan yang dimaksud adalah dalam konteks kebijakan dan dalam aplikasi dilapangan. Turunan dari tujuan ini adalah bagaimana mahasiswa dapat menempatkan diri sebagai kontrol sosial atas berlangsungnya pembangunan tersebut. Disini fungsi pengendalian dijalankan dengan tujuan agar setiap hal yang telah direncanakan atau dijanjikan dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Gerakan ini yang disebut dengan gerakan vertical, sebuah gerakan sebagai upaya untuk mengontrol segala kebijakan ataupun aplikasi kebijakan para pemimpin yang sedang berkuasa. Kajian, audiensi, propaganda media dan aksi jalanan bagian dari tools yang digunakan untuk mencapai tujuan ini (kontrol sosial,red).

Pada sisi lain, kita harus pula dapat memaknai bahwa adanya kita karena ada masyarakat disana. Kita ada karena jerit tangis rakyat atas ketidakadilan para penguasa. Kita adalah corong masyarakat. Dalam hal ini, kedekatan kita kepada masyarakat menjadi salah satu tolak ukur mendasar atas esensi adanya kita. Inilah gerakan yang kita pahami sebagai gerakan horizontal mahasiswa. Gerakan ini menjadi bagian yang tidak boleh terlupakan. Selain menjadi kaum “langitan”, mahasiswa juga harus dapat membuktikan bahwa adanya mereka dapat memberikan solusi dan kontribusi nyata atas permasalahan yang ada dalam masyarakat. Masyarakat yang notabenenya adalah kaum yang “tidak tau apa-apa”, yang terpikir oleh mereka hanya bagaimana dapat makan dengan harga yang murah, dapat tidur nyenyak dengan rumah sewajarnya, dan sekolah untuk sekedar mencari kerja. Mereka tidak peduli dengan sepak terjang baik buruknya penguasa. Maka hal yang sangat wajar apabila ditengah diktatorisme Presiden Soeharto, masih banyak masyarakat yang mengaguminya, kerena pada masa pemerintahannya masyarakat merasakan segala sesuatunya menjadi sangat murah dan mudah.

Gerakan horizontal dan gerakan vertical bukanlah 2 gerakan yang terpisah. Dua gerakan ini akan sangat mempengaruhi efektifitas dan efisiensi masing-masing. Semakin dekat kita dengan masyarakat, akan semakin mudah masyarakat menerima pencerdasan atas isu atau permasalahan yang kita bawa. Disaat masyarakat sudah dapat “dicerdaskan” dengan baik, tinggallah menunggu waktu akan adanya people power yang akan lebih dahsyat dari kekuatan penguasa manapun.

Hanya saja pada evaluasinya gerakan mahasiswa semakin “terbang tingggi” meninggalkan masyarakat dan mahasiswa yang lain pada umumnya. Gerakan mahasiswa semakin jauh tak terjangkau dan memberikan kesan ekslusif tersendiri. Gerakan politik mahasiswa yang seharusnya adalah gerakan politik nilai, kini berubah menjadi gerakan politik praktis dan pragmatis. Idealisme menjadi kata yang tabu dalam setiap kebijakan-kebijakan yang diambil. Pantas saja jikalau gerakan mahasiswa semakin kurang mendapat tempat di hati mahasiswa umum dan masyarakat. Ini adalah PR kita bersama sebagai insan pergerakan mahasiswa. Bagaimana kita bisa kembali mengambil hati mahasiswa umum dan masyarakat serta kembali “membumikan” gerakan mahasiswa.

Mulai dengan berpikir inklusif dan membangun keterlibatan terhadap semua stackholder yang ada. Bangun titik temu dan kegiatan-kegiatan dialogis. Turun langsung ke masyarakat dan sambangi kantin-kantin kampus tempat mahasiswa umum berkumpul santai. Mulailah berbicara dengan bahasa mereka. Bukan sekedar sekali tapi lakukanlah pendekatan yang konsisten. Penulis meyakini, gerakan-gerakan besar yang ada, bukan berawal dari tingginya gedung-gedung megah atau nyamannya student center kita, tapi berawal dari pembicaraan-pembicaraan ringan di kantin-kantin kampus. Dari sanalah people power itu akan terbentuk. Disaat semua mahasiswa merasakan apa yang kita resahkan bersama. Dan karena itulah mereka bergerak. Karena mahasiswa adalah fenomena.


*Menteri Kebijakan Daerah BEM KM IPB;
Kordinator BEM se Bogor

Solusi Kemacetan Bogor

Oleh
Hendra Etri Gunawan*

Visi Kota Bogor sebagai kota jasa 2025 nampaknya akan jauh terealisasi. Kota jasa yang identik dengan kenyamanan, masih sangat jauh dari kondisi kota Bogor saat ini. Banyak masyarakat luar Bogor yang mengeluh harus menempuh waktu berjam-jam untuk menempuh jarak yang relative dekat dari satu tempat ke tempat lain di Bogor. Awalnya ingin berjalan-jalan tuk sekedar refreshing, malah tambah stress dengan kondisi kemacetan jalan-jalan yang dilalui.

Kondisi kemacetan seperti ini sudah menjadi hal biasa bagi masyarakat Bogor. Kota Bogor sebagai kota hujan kini berubah sebagai kota 1001 angkot, sebagai gambaran begitu parahnya kemacetan di Bogor kita tercinta ini. Kemacetan pada prinsipnya terjadi akibat tidak seimbangnya antara jumlah kendaraan yang melintas dengan tersedianya jaringan jalan. Peningkatan jumlah kendaraan tidak sebanding dengan pertumbuhan jaringan jalan yang ada. Kapasitas jalan yang ada pun, tidak dapat sepenuhnya digunakan untuk berkendara, karena ada faktor hambatan samping, yaitu kendaraan yang parkir di pinggir jalan dan beberapa pedagang kaki lima yang juga turut mengambil tempat di jalan. Hal ini membuat ruas jalan semakin sempit bagi kendaraan yang melintas. Selain itu tidak meratanya pusat kegiatan perekonomian di suatu daerah menjadi salah satu penyebab kemacetan. Tenaga kerja dari berbagai daerah bergerak bersama-sama menuju daerah pusat kegiatan tersebut, sehingga pergerakan transportasi semakin banyak serta menumpuk pada daerah itu dan terjadilah kemacetan.

Ditambah lagi oleh faktor manusia itu sendiri, yaitu para pengguna kendaraan tersebut. Ketidakdisiplinan para pengguna jalan juga menjadi faktor lain yang menyebabkan terjadinya kemacetan di jalan. Sebagai contoh, kendaraan umum, seperti angkot, mikrolet, ataupun bis yang menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat. Tidak hanya dari pihak angkutan umum, tetapi penumpangnya juga kurang sadar dimana sebaiknya tempat menunggu dan menghentikan kendaraan umum. Selain itu mobil dan motor juga tidak disiplin dalam mematuhi rambu-rambu yang berlaku. Seringkali kendaraan diparkir secara sembarangan dan para pengemudi mengendarai kendaraannya dengan kurang sopan.

BEM se Bogor memandang masalah kemacetan adalah salah satu masalah krusial yang harus segera diatasi Pemerintah Kota Bogor, mengingat visi kota Bogor 2025 adalah sebagai kota jasa. Selain itu masalah kemacetan adalah salah satu masalah yang sangat dekat dengan kepentingan masyarakat. Banyak masyarakat yang dirugikan baik dari sisi ekonomi maupun dari sisi yang lain. Pada rapat gelar rapat dengar pendapat antara Pansus Transportasi dengan para Stakholder yang ada di Bogor. BEM Se-Bogor(BSB) adalah salah satunya. Dalam Pembahasan itu, BSB menyampaikan usulan solusi:
Berdasarkan penanggung jawab, kami membagi solusi kedalam dua bagian, yaitu:

1. Pemerintah (Walikota beserta jajarannya)
Dinas Pendidikan
Pemerintah, khususnya Dinas Pendidikan disarankan untuk memasukan Pendidikan Karakter secara eksplisit ke dalam kurikulum pendidikan, dari anak berusia TK hingga perguruan tinggi. Nilai Karakter yang ditanamkan minimal adalah tentang penggunaan jalan raya. Sifatnya tidak terbatas pada pengetahuan (knowing), tapi juga sampai pada tataran acting-melakukan nilai-nilai karakter yang diketahui tersebut. Solusi ini sifatnya jangka panjang dan tidak bisa terburu-buru dalam menikmati hasilnya. Tetapi, kami yakin dari sinilah perbaikan transportasi akan dimulai.

Dinas Sosial
Dinas Sosial dapat bekerja sama dengan KADIN untuk merelokasi PKL (Pedagang Kaki Lima). Secara teknis, kami yakin pemerintah mampu melakukan relokasi ini. Tetapi yang sering menjadi masalah dalam relokasi PKL adalah bagiamana PKL mendapatkan tempat yang layak untuk berjualan (baik secara analisis Ekonomi maupun kepatutan tempat) dan cara pemerintah merelokasi. Kami sangat tidak menyarankan perelokasian menggunakan kekerasan dan paksaan. Kami yakin, PKL akan mau direlokasi jika kita mampu memberi pengertian dengan baik dan menghargai mereka sebagaimana kita mau dihargai. Harapannya setelah PKL berada ditempat yang seharusnya (tidak di bahu jalan) kemacetan dapat terkurangi.

Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang
Perbaikan tata ruang secara menyeluruh sangat diharapkan dalam penuntasan kasus Kemacetan di Bogor. Hal ini meliputi sistem pengairan, trotoar, dan pemberian izin pendirian bangunan bagi sentra usaha bisnis dalam hal ini adalah mall. Pemerataan sentra bisnis juga perlu dilakukan sehingga kepadatan bisa dikurangi dan tidak terkonsentrasi pada satu titik.

Pemerintah dengan segala program kerjanya untuk mengatasi kemacetan merupakan salah satu indikasi kebaikan yang perlu dihargai. Hanya saja program-program yang dilaksanakan dirasa hanya sekedar tambal sulam atas permasalahan yang ada. Satu selesai, akan timbul masalah baru yang lain. Maka Badan Perncanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) yang memiliki wewenang dan tugas dalam hal ini diharapkan dapat membuat grand design yang komprehensif dan jangka panjang, sehingga permasalahan yang ada dapat diselesaikan dan menjadi penunjang untuk menuju visi kota Bogor sebagai kota jasa 2025. Kekonsistenan dalam melaksanakan program tersebut pun sangat perlu dilakukan. Sehingga, kemajuan dan perbaikan transportasi yang dihasilkan dapat terus meningkat, bukan sebaliknya. Selain itu, perlu juga adanya supermasi hukum yang jelas terhadap para pengguna jalan yang melanggar peraturan berlalu lintas. Tidak ada tawar menawar dalam sanksi dan tidak ada pemakluman terhadap kesalahan, siapapun yang melakukannya.

2. Masyarakat (Civil Society)
Jika dalam tataran Organda dan Dinas perhubungan masalah yang selalu mendapat prioritas pembahasan adalah banyaknya angkot yang ada di Kota Bogor, maka kami ingin mengatakan bahwa ada sebagian masyarakat yang berperan aktif dalam menambah volume kendaraan yang ada di jalanan. Bagian masyarakat ini yang tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah. Karena walau bagaimanapun pembelian mobil pribadi merupakan Hak Preoregatif setiap orang di Negeri ini. Jika pemerintah tidak mampu mengingatkan, maka kesadaran diri adalah kuncinya. Konsep Penyadaran diri, akan kami bahas di bagian selanjutnya.

Pemilik Usaha
Hal lain yang sering menjadi pemicu kemacetan adalah adanya mobil yang parkir di depan pusat perbelanjaan. Kami tidak menyalahkan pemilik kendaraan, tapi yang patut dipertanyakan adalah apakah pemilik usaha yang ada di sepanjang jalan Kota Bogor itu telah menyediakan sarana parkir yang memadai bagi para pengunjung toko mereka? Jika belum, maka kami sarankan pemerintah untuk mengkaji ulang pemberian izin pendirian usaha. Hal ini mungkin terdengar sulit. Tapi itulah masalah. Tidak akan ada solusi konkrit tanpa kesungguhan.

Mahasiswa
Menilik paradigma mahasiswa yang berbasis pada intelektualitas, kami tidak bermaksud memposisikan mereka sebagai dewa yang tidak pernah salah atau teknisi yang serba bisa tetapi lebih kepada sebagai tenaga penggerak baik secara horizontal ke masyarakat maupun secara vertical kepada pemerintah. Penanganan kansus transportasi, kami melihat perlu penanganan yang menyeluruh. Konsep yang digunakan dalam kasus ini adalah adanya Pemasaran Sosial di tingkat masyarakat. Pemasaran Sosial yang dimaksud bertujuan untuk mengkampanyekan tentang apa yang kita inginkan diketahui masyarakat sehingga melahirkan pemahaman dan tindakan yang nyata untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dalam Pemasaran sosial, Sasaran edukasi terbagi dalam tiga segmen:

1. Sasaran primer melingkupi pedagang kaki lima, para supir angkot, penumpang angkot, dan pengguna jalan lainnya. Sasaran Primer adalah sasaran yang kita ingin diubah perilakunya. Teknis yang kita gunakan untuk melakukan kampanye kepada mereka adalah dengan sosialisasi langsung dan internalisasi nilai.

2. Sasaran Sekunder meliputi Organda, sekolah, dan perguruan tinggi. Sasaran sekunder adalah sasaran yang akan mendukung sasaran primer melakukan perubahan. Teknis yang dapat dilakukan adalah dengan audiensi dan sosialisasi.

3. Sasaran tersier adalah sasaran yang memberikan pendanaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program ini. Melingkupi pemerintah (Walikota beserta jajarannya) dan DPRD.


Demikianlah masukan solusi kemacetan Bogor dari hasil kajian BEM se Bogor. Permasalahan ini adalah permasalahan kita bersama, bukan hanya pemerintah kota. Masyarakat, mahasiswa harus dapat bersatu padu menyelesaikan masalah yang sudah menahun ada di tengah-tengah kita. Bogor bebas kemacetan akan jadi nyata, bukan sekedar mimpi.



*Kordinator BEM se Bogor

Rabu, 16 Juni 2010

Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten Bogor Tertinggi di Jawa Barat

Oleh
Hendra Etri Gunawan*

Kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kemiskinan menyangkut suatu kondisi kekurangan dari sebuah tuntutan kehidupan yang paling minimum, khususnya dari aspek konsumsi, pendapatan, dan kebutuhan sosial. Jumlah penduduk miskin di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun. Fluktuasi tersebut juga terjadi di Jawa Barat. Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat relatif menurun dari tahun 2003 hingga 2004, kemudian meningkat kembali hingga tahun 2006. Sementara itu, hasil pendataan program layak perlindungan sosial (PPLS) dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor, jumlah rumah tangga miskin di Kabupaten adalah 257.013 Rumah Tangga (1.105.156 Jiwa) atau 24,68% dari jumlah masyarakat Kabupaten Bogor. Jumlah tersebut merupakan yang paling besar di Jawa Barat. Masih menurut data BPS, kepadatan penduduk Kabupaten Bogor adalah 1.5942 jiwa per km2. Kepadatan penduduk tersebut berdampak dalam penyediaan infrastruktur serta lapangan pekerjaan yang memadai dan menjadi beban dalam proses pembangunan. Jika berkualitas rendah akan meningkatkan kemiskinan di Kabupaten Bogor.

Indikator kemiskinan yang digunakan BPS ada 14 diantaranya: luas lantai bangunan tempat tinggal, jenis lantai bangunan tempat tinggal, jenis dinding bangunan tempat tinggal, sumber air minum, penggunaan fasilitas buang air besar, jenis bahan bakar untuk masak sehari-hari, sumber penerangan rumah tangga, kepemilikan aset minimal senilai Rp 500.000, frekuensi makan dalam sehari, pembelian pakaian baru dalam setahun, pembelian daging/ayam/susu dalam seminggu, kemampuan berobat ke puskesmas atau poliklinik, pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, dan bidang pekerjaan utama kepala rumah tangga.Menurut BPS, suatu rumah tangga dapat dikatakan miskin jika memenuhi minimal sembilan dari 14 indikator yang ditetapkan.

Berbagai program telah dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Bogor, salah satunya adalah dengan membagi wilayah Kabupaten Bogor menjadi 4 wilayah pengembangan (BAPPEDA,2010):
1. Cluster Cibinong Raya (Cibinong, Citeureup, Bojong Gede, Sukaraja, Babakan Madang, Tajur Halang).
Peran dan Fungsi:
a. Pusat Pemerintahan
b. Perdagangan dan Jasa Regional
c. Industri Terbatas
d. Industri Besar dan Manufaktur
e. Agribisnis
f. Permukiman

Program Prioritas:
a. Pengembangan Cibinong Central Bussiness District (CCBD) à kawasan ‘sport center’, revitalisasi kawasan Mayor Oking, penataan kawasan industri
b. Pembangunan Jalan Bojonggede - Kemang
c. Pembangunan Jalan Kandang Roda - Pakansari
d. Pembangunan terminal agribisnis

2. Cluster Parung (Parung, Gunung Sindur, Ciseeng, Kemang, Rancabungur, Parung Panjang, Tenjo, Rumpin)
Peran dan Fungsi :
a. Perdagangan dan Jasa
b. Permukiman
c. Industri Menengah
d. Agribisnis
e. Industri Besar dan Manufaktur
f. Pertambangan
Program Prioritas :
a. Perencanaan Pembangunan Rumah sakit Bogor Utara
b. Pembangunan Terminal Parung
c. Pemindahan Kantor Kecamatan Parung

3. Cluster Klapanunggal (Cileungsi, Gunung Putri, Klapanunggal, Cariu, Jonggol, Sukamakmur, Tanjungsari)
Peran dan Fungsi :
a. Perdagangan dan Jasa
b. Industri Besar dan Manufaktur
c. Permukiman
d. Agribisnis dan Agroindustri
e. Pariwisata
Program Prioritas :
a. Pembangunan Pasar Induk dan Terminal Agribisnis Regional
b. Revitalisasi Kawasan Simpang Susun Cileungsi
c. Optimalisasi Pengelolaan dan Pemanfaatan Terminal Cileungsi

4. Cluster Ciawi (Ciawi, Cisarua, Megamendung, Cigombong, Cijeruk, Taman sari, Ciomas)
Peran dan Funngsi :
a. Perdagangan dan Jasa
b. Pariwisata
c. Agribisnis
d. Industri Kecil

Program Prioritas :
a. Pembangunan Pasar Induk
b. Penataan kota terpadu di Cigombong

5. Cluster Leuwiliang (Leuwiliang, Dramaga, Ciampea, Cibungbulang, Leuwisadeng, Pamijahan, Tenjolaya, Jasinga, Cigudeg, Nanggung, Sukajaya)
Peran dan Fungsi :
a. Perdagangan dan Jasa,
b. Agribisnis
c. Agroindustri
d. Pendidikan
e. Industri Kecil
f. Pariwisata
g. Pertambangan

Program prioritas:
a. Pembangunan Jalan Lingkar Selatan


Pembagian wilayah ini dibuat agar pembangunan yang terjadi dapat sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik dari masing-masing daerah. Namun pada kenyataannya permasalahan di lapangan tidak sesederhana yang kita bayangkan. Mental masyarakat kita yang cenderung ingin “enaknya sendiri”, membuat mereka mengambil hak yang bukan hak mereka, khususnya dalam pendataan keluarga miskin. Mereka mengaku miskin, padahal secara nampak fisik tidak mencakup kriteria-kriteria yang dbuat BPS di atas. Ini merupakan permasalahan, karena kondisi ini, banyak warga miskin yang seharusnya mendapat bantuan jadi tidak mendapat bantuan sebagaimana mestinya. Masih banyak lagi kendala-kendala yang terjadi di lapangan, mulai dari ketidaksiapan sistem hingga “kenakalan” aparatur pemerintah dan masyarakat itu sendiri.

Mengentaskan kemiskinan merupakan tugas kita bersama, antara mahasiswa, masyarakat dan Pemerintah Daerah. Pengentasan kemiskinan hendaknya dijadikan program prioritas pemerintah daerah. Pengentasan difokuskan pada wilayah yang memiliki persentase rumah tangga miskin yang tinggi, yaitu Kecamatan Nanggung, Sukajaya, Ciseeng, Cijeruk, Tanjung Sari, dan Cariu. Pemerintah perlu melakukan pelatihan-pelatihan keterampilan untuk menambah penghasilan bagi rumah tangga di Kabupaten Bogor. Pelaksanaan pelatihan-pelatihan ini dapat bekerja sama dengan mahasiswa melalui program Bina Desa, Community Development, dan Praktek Lapang dari masing-masing kampus. Masyarakat pun dapat membantu pengentasan kemiskinan dengan menyisihkan sebagian rizkinya ke lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat. Dana tersebut nantinya akan digunakan untuk melaksanakan program-program pemberdayan masyarakat yang berhubungan dengan pengentasan kemiskinan. Jika hal ini ini telah dipadukan, bukan tidak mungkin Kabupaten Bogor bebas kemacetan akan segera tercapai.




*Kordinator BEM se Bogor