Powered By Blogger

Minggu, 27 April 2008

Jalan Baru Menggugat Kepemimpinan Baru

Jalan Baru: Menggugat Kepemimpinan Baru
Oleh: Eka Febrial
“Seven social sins which is responsible to the total crisis of one nation is politic without princip, wealth with no work, commercial without moral, education without character, pleasure with no solidarity, science without humanism, and worship without sacrifice”
– Mahathma Gandhi –
Kancah perpolitikan menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 semakin ramai dan hangat. Pemilihan Kepala Daerah di berbagai provinsi, kota, dan kabupaten seakan tak ada habisnya mengiringi hari-hari penuh pesta demokrasi. Miliaran, bahkan triliunan rupiah habis sudah demi memuaskan hasrat aktualisasi demokrasi yang dulu terpasung puluhan tahun lamanya. Pilkada, bagi sebagian masyarakat, seakan menjadi mimpi baru untuk mewujudkan transformasi total, bahkan kalau perlu revolusioner. Akan tetapi, bagi sebagian yang lain, Pilkada tak lebih dari ajang obral-mengobral janji palsu para elit politik yang memanfaatkan keluguan masyarakat dengan iming-iming janji, atau (bila perlu) dengan sogokan katabelece lain. Bahkan, yang ekstrem pesimistis memandang Pilkada dengan sebelah mata; hanya pesta pora yang menghamburkan uang di tengah kemiskinan dan penderitaan rakyat.
Pemilih “asal bukan dia” dan Golput
Fenomena Pilkada yang baru saja berlangsung di Jawa Barat dapat menjadi objek studi yang relevan bagi respon masyarakat terhadap pesta demokrasi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Konstelasi politik yang berlaku di Jawa Barat memperlihatkan kekhasan dengan tidak lagi mengacu pada hasil Pemilu 2004, –yakni pada jumlah perolehan suara Partai Politik yang mengusung calon gubernur dan wakilnya –akan tetapi lebih melihat figuritas calon yang berlaga.
Slogan “kepemimpinan muda dan harapan baru” telah menggiring sebagian besar masyarakat Jawa Barat yang properubahan untuk memilih pendatang baru dalam laga politik ini. Total suara 39% yang diperoleh pasangan Hade, dibandingkan dengan Aman (35%) dan Da’i (25%), memunculkan sebuah hipotesa umum, bahwa masyarakat Jawa Barat sudah bosan dengan tingkah pemain lama yang tidak mampu memberikan solusi bagi permasalahan rakyat. Fenomena ini dapat dianalisis dengan suatu pola pikir (school of tought) politik “love to hate relationship” –dimana awalnya terbangun suatu hubungan cinta dan harapan besar masyarakat kepada sang pimpinan untuk bisa memberikan kesejahteraan bagi mereka. Pola hubungan ini kemudian berubah menjadi suatu kebencian, ketika masyarakat melihat harapannya dikhianati oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat bahkan terkesan seperti penjajahan baru (neocolonialism). Perilaku traumatik inilah yang kemudian memunculkan opini di masyarakat pada ajang Pilgub 2008: “asal bukan dia”.
Fenomena lain yang perlu dicermati adalah tingginya jumlah suara golput yang mencapai 35% dari total pemilih. Rendahnya tingkat partisipasi politik ini, menurut analis psikologi kebijakan publik Universitas Indonesia, Dr.Hamdi Muluk, merupakan ekspresi dari kondisi deprivasi (ketidakpuasan) yang nyaris absolut akibat dikhianatinya konsepsi Republik Indonesia. Republik, yang berarti kembali ke publik (masyarakat umum), semestinya diejawantahkan dengan penghidupan masyarakat umum melalui seluruh sektor kehidupan. Ketika konsepsi ini dilanggar maka konsekuensinya adalah deprivasi dengan setidaknya dua ekspresi: mosi tidak percaya atau gerakan perubahan.
Dalam konteks Pilgub Jabar 2008, ekspresi ini diperlihatkan dengan dua gejala umum, yakni tingginya persentase pemilih Golput dan terpilihnya calon “asal bukan dia”. Banyaknya pemilih Golput merupakan ekspresi ketidakpercayaan absolut yang berujung pada pesimisme (tidak yakin dan tidak mau melakukan perubahan). Sementara konteks terpilihnya pendatang baru merupakan klimaks deprivasi yang diekspresikan lebih positif melalui semangat untuk perubahan. Dengan melihat konteks ini, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya masyarakat sudah bosan dengan penderitaan dan mendambakan munculnya sosok perubahan yang dapat menghidupkan kembali konsepsi republik secara utuh.
Jalan Lama vs Jalan Baru
Terpilihnya pemimpin baru, meminjam istilah Dr.Rizal Ramli, ibarat mendapatkan mobil baru yang diyakini mampu berjalan dengan gesit, progresif, sekaligus memberikan rasa aman dan harapan positif. Akan tetapi, mobil baru ini perlu juga diwaspadai arah geraknya; apakah sesuai dengan track-track yang ia janjikan semasa kampanye (menuju jalan baru), atau malah tersesat kembali kepada jalan lama yang berujung pada penistaan rakyat dan neokolonialisme. Masyarakat sudah bosan dengan perilaku elit politik tanpa prinsip yang mengelabui mereka layaknya “old wine in a new bottle”, kemasannya berubah, sosok pemimpinnya berubah, namun isinya sama saja: anggur masam!
Meretas jalan baru memang tak semudah menempuh jalan tol. Meretas jalan baru, menurut Master Trainer kepemimpinan dan SDM, Arief Munandar, artinya meninggalkan jalan lama dan membuat jalan baru di lahan yang baru: mencerabuti ilalang-ilalang nilai lama yang menghalangi perubahan secara tuntas hingga ke akarnya; mengukur dan mendesain dengan cermat rancangan demi rancangan jalan hingga tujuan akhir; menciptakan jalan itu sebagai sebuah sistem yang utuh; dan akhirnya dengan mobil yang baru, kita melintasi jalan baru itu hingga mencapai tujuan akhirnya: kesejahteraan bersama.
Kemungkinan arah pemimpin baru untuk menjadi “old wine in a new bottle” atau “mobil baru di jalan yang baru” sama besarnya. Sebagai masyarakat yang menginginkan kembali utuhnya konsepsi republik sebagaimana diusung oleh para founding fathers kita, dalam momen kebangkitan bangsa ini, sudah saatnyalah masyarakat menggugat para pemimpin baru untuk meninggalkan jalan lama dan bersama-sama meretas jalan baru. Bangkit Indonesiaku!

Eka Febrial*
* Menteri Kajian Strategis Daerah BEM KM IPB, Koordinator BEM Se-Bogor, Anggota National Election Institute (NEI) LSM dan Tim Penilai Independen Pemilihan Umum

Tidak ada komentar: